Thursday, September 28, 2006

Perempuan Yang Melahirkan Hujan




Setelah kisah ini kuceritakan, mungkin kalian akan mengerti mengapa berulang-ulang terus saja aku masih mau melakukan hal yang demikian. Bila lampu mati akulah yang akan kembali menyalakan lilinnya. Bila hujan datang, akulah yang akan menyisiri lagi rambutnya. Bila lidahnya terpenggal dan patah, akulah yang akan mencarikan para Driad dan membiarkan mereka meracik ramuan itu tepat di depan matanya.

Padahal dibutuhkan bermalam-malam perjalanan yang penuh gulita untuk sampai ke desa tempat para Driad itu tinggal. Dan menemukan mereka bukanlah perkara mudah.

Seperti tempat kunang-kunang di jaman sekarang, tempat tinggal para peri pohon itu sudah sangat sulit ditemukan. Bukan hanya berpindah-pindah dan dibutuhkan kejelian untuk mengira tanda-tanda detak kehidupan mereka. Tapi mereka memendam ketakutan pada manusia. Seperti air yang mengalir, dalam darah para Driad tumbuh sebuah arus serupa naluri alami yang berbentuk riak pada awalnya tapi lantas membesar membentuk pusaran yang memberitahu seluruh kampung akan datangnya bahaya saat angin mengabarkan pada mereka sebentuk suara dari langkah kaki manusia. Dan bila suara langkah kaki itu tak mereka kenal sebelumnya, para Driad itu akan langsung beterbangan dari pohon-pohon besar tempat mereka tinggal. Meletakkan setetes air mata mereka pada rongga pohon tertua, dan bila hujan datang mereka akan kembali ke pohon tersebut untuk bersama saling menghangatkan badan sebelum perkampungan pepohonan yang aman untuk dijadikan tempat tinggal baru, ditemukan.

Tentu saja dia bukan salah seorang dari mereka. Hanya saja aku bisa mengendus aroma hujan dari tubuhnya. Rasanya basah dan berbau air. Bila kau pernah pergi membaui lumpur kau pasti bisa membedakan yang mana yang air dan mana yang lumpur atau mana air yang berbau lumpur dan mana lumpur yang mengandung air. Air akan mengambil warna lumpur, tapi lumpur tak akan pernah bisa menjadi sebening air. Air berlumpur akan menguarkan wangi buruk tanah yang apek lapuk. Lumpur berair akan menjadi sangat lembek dan amat mudah diciprat kemana saja. Sedangkan air akan tenang berdiam bening di tempatnya bila ia tergenang di antara tumpukan lumpur yang menggunung. Dan begitulah Ia.

Segelas Pepsi Cola sedang dinikmatinya saat pertama kali aku melihatnya di sebuah warung gerai Francais yang banyak tersebar di mall-mall. Dia setenang air yang menggenang di antara tumpukan lumpur. Tentu saja sesekali ia tertawa dan menebar senyum menimpali kedua temannya yang tengah asyik bercengkrama.
?Ada yang memenggal kepalaku semalam,? begitu katanya. Tak sengaja aku menguping dari meja sebelah.
?Mimpi biasa. Tampak tak nyata.? Komentar perempuan yang berada di kursi kanan di antara kesibukannya menggumuli es krim berbentuk kerucut penuh dilumuri coklat.
?Dan mimpi itu pasti hilang begitu disentuh pagi ?kan? Bukankah demikian, Sedi?? Teman yang satunya lagi menimpali sambil meremas tissue, memindahkan kotoran dari tangannya ke serat tipis berwarna putih tersebut.
?Ya sudah. Kalau tak percaya tak apa.? Perempuan yang dipanggil Sedi itu mengendikkan kedua bahunya dan lantas memasukkan burgernya ke dalam mulut dan mengunyahnya pelan-pelan seakan setiap irisan sayur, daging dan roti yang dinikmatinya adalah hidangan para dewa yang diturunkan ke bumi sebagai hadiah bagi manusia. Terlihat benar ia sangat menikmatinya.

Dan aku terperangah. Perempuan yang tengah menikmati burgernya itu membuat aku berdebar. Dari arah di mana aku duduk, aku bisa melihat ada sesuatu yang terjadi! Dan sesuatu yang awalnya tak kusadari itu kini menghentakku. Aku bisa melihat perubahan itu dengan pasti.

Setiap gigit makanan yang ditelan dan dimasukkan ke tubuhnya, setiap sedotan cola yang direguk dari gelas plastik berpindah ke tenggorokannya, ada sesuatu yang berubah pada perempuan itu.

Rambut perempuan berwajah bundar yang dicat dengan warna coklat tua itu terus saja bertambah panjang. Dan aku bisa melihat rambut tersebut setiap detiknya semakin mendekati lantai. Dan saat hujan mulai turun tipis-tipis di luar jendela kaca lebar di warung gerai, aku tahu, dialah perempuan yang selama ini harus aku temukan!

Ya, aku tahu! Dialah perempuan yang dari rambutnya melahirkan hujan

* * *

Tak ada jalan-jalan kecil tak bernama yang menyesatkan. Tak ada rumah berkerlip yang bisa ditemui saat tiba malam. Pun tak ada pelataran yang ditumbuhi hanya bunga dan pepohonan seperti taman yang kutemui di beberapa tempat ketika aku keluar dari negeri asalku.

Sejauh mata memandang, yang bisa ditemui di negeriku hanya hamparan gurun serupa tanah datar tak berujung yang dipenuhi buliran lembut pasir yang memadat dan akan beterbangan membentuk pusaran saat kuda-kuda berbadan besar dan tegap itu melaluinya dengan langkah kaki yang menjejak cepat dan kuat. Kuda-kuda itu akan saling membenturkan diri sebelum para penunggangnya yang berjubah hitam saling menebaskan pedang dan matahari memantulkan kilau keperakan dari senjata-senjata yang menari di udara.

Pertempuran itu selalu dimulai tepat saat matahari berada di atas kepala. Aku masih selalu mengingatnya dengan jelas.

Para perempuan Suku Tsaiaya, satu dari enam suku yang terdapat di negeri Merkabah, akan menunggangi kudanya menuju Lembah Nisa dua jam sebelum matahari mencapai ubun-ubun. Rambut mereka yang panjang akan telanjang diterjang angin yang tak segan mempermainkan bahkan menampar kulit wajah mereka yang putih kecoklatan. Anak-anak dan bejana adalah dua hal yang selalu mereka bawa.

Sedangkan para lelaki, mereka akan serentak mengenakan jubah perang mereka dan menyebarkan Iareuh, semacam mantra untuk membuat kuat kuda-kuda perang mereka. Sekepal pasir akan didekatkan pada perapian sebentar, dimantrai dan kemudian digosokkan di antara surai dan bulu kuda juga jubah mereka, sesaat sebelum mereka berkumpul untuk berdo?a bersama. Do?a memohon kemenangan dalam perang.

Tak ada langkah gentar atau pandangan ragu saat para pria itu satu persatu menaiki kuda-kuda gurun yang telah mereka persiapkan. Langkah pacu kuda mereka yang terus memburu maju , sepasti aliran sungai yang tak akan berpindah dengan semena-mena dari alurnya. Dengan pedang yang tersimpan aman di sabuk yang direkatkan di pinggang, dengan kuda perkasa yang seolah telah paham tujuan perang mereka, perang saudara di Merkabah, negeri para penunggang kuda, ibarat pereseteruan siang dan malam yang tak lekang oleh lerai fajar atau cara rekonsiliasi senja ketika memenggal cahaya.

Merkabah terpecah. Darah tumpah. Korban terus saja berjatuhan. Dan seperti kesetanan, lelaki-lelaki negeri penunggang kuda itu seolah lapar untuk saling memamerkan kekuatan. Perang saudara membelah kebersamaan yang berabad sebelumnya telah tercipta. Sejak Mata Air Kahlirhu hanya mau menyembul di Araima, maka penduduk Merkabah menjadi gelap mata. Semua berebut untuk menguasainya. Enam suku bertempur untuk menjadi penguasanya.

Namun saat perang saudara tak juga kunjung reda dan bayi-bayi mulai banyak yang mati, sebuah keajaiban terjadi. Hanya aku dan perempuan-perempuan suku Tsaiaya yang mengetahuinya. Dan mereka memendam rapat-rapat rahasia besar itu di lembah Nisa. Lembah perlindungan yang bila malam tiba, pasirnya akan menyembulkan kilau cahaya dan bulir-bulir putih lembutnya akan memantulkan sinar bulan yang sedang bercengkrama.

Malam itu kami para lelaki suku Tsaiaya membagi tugas. Aku berusia delapan belas. Memiliki seekor kuda jantan dan sebilah pedang, yang kata penjualnya, konon ditempa oleh para perajin di desa yang memiliki empat musim yang berganti setiap tiga bulannya?kami memang kerap berjumpa dengan kafilah pedagang yang tersasar di gurun. Diputuskan aku akan bertugas menjadi salah seorang Galmajai selama sepuluh hari sepuluh malam berturut-turut. Galmajai adalah sebutan untuk para lelaki yang bertugas mengawal dan mengamankan para perempuan dan anak-anak yang suami atau bapaknya tengah pergi berperang. Maka malam itu, bersama dua Galmajai lainnya kami membelah gurun pasir dan menemui para perempuan dan anak-anak yang untuk sementara bermukim di lembah Nisa.

Saat kami sampai di lembah tersebut, keadaan sudah sehening seperti saat dua ekor kucing gurun yang bermusuhan bertemu dalam diam. Setelah membuka surban penutup kepala dan memberi salam kepada tiga orang Galmajai yang bertugas sebelumnya, kami mulai bekerja. Seorang Galmajai yang berpengalaman akan menjaga api di gerbang lembah. Memastikan tak ada musuh yang menyusup diam-diam di antara hembusan pasir. Seorang Galmajai lain yang memiliki ilmu cukup tinggi akan memantau seluruh tempat perlindungan dan berkeliling menebarkan Iareuh, membuat lingkaran perlindungan dari segala tabir hitam yang disebar musuh yang tak bisa dilihat mata. Dan aku Galmajai termuda, melihat keadaan para perempuan dan kanak-kanak dari dekat. Memastikan keadaan mereka dan bila siang tiba, mengajak mereka bercakap atau memastikan kelak pesan para istri sampai kepada para suami dan sebaliknya.

Malam seperti bidadari terpanah sepi. Hening dan tak mengirimkan desau angin yang biasanya ramai memeriahkan malam-malam di gurun. Saat itulah aku pertama kali mengendus bau itu. Bau sejuk yang jernih dan menyegarkan. Bau yang kucium keluar dari seorang perempuan yang memeluk seorang bayi yang dibungkus kain perca dan diselimuti kulit kuda.

Aku mencium wangi air keluar menyengat dari tubuh sang Ibu muda. Dan saat kusentuh sekilas ibu jari perempuan itu, begitu saja aku mengerti kalau mimpi tidak datang dari alam bawah sadar tapi memasuki benak lewat kaki, berjalan di aliran darah untuk kemudian membelah diri, meruyakkan semua hal yang diinginkan tapi tak kunjung terwujud. Sang perempuan memimpikan air. Dan begitu saja, dari ujung jari kaki yang kusentuh tadi, air mengalir bagai pancuran. Mengucur deras merembesi secarik kain yang dijadikan alas tidur, menembus pasir dan membuatku terpana. Semakin lama air tersebut semakin banyak, dan Ibu muda yang tidur memeluk bayi tersebut baru terbangun ketika seorang perempuan yang tak sengaja terbangun tengah malam memekik kegirangan melihat air yang mengalir dari ibu jari kakinya seperti pancoran. Mimpipun terbang dan air berhenti mengalir.

Sejak itulah kabar itu menyebar. Namun seperti penyamun yang dengan segala cara merahasiakan misinya, demikin juga dengan yang terjalin di antara kami. Rahasia itu tersimpan rapat. Terikat di tenggorokanku, terikat di ujung mulut para perempuan dan kanak-kanak yang berlindung di lembah Nisa saja. Seorang pengendus air telah ditemukan! Dan dengan begitu, harapan akan perang yang bisa dihentikan menggelembung di hati kami sedemikian besar. Ya, aku lah pengendus air itu.

* * *

?Mewujudkan mimpi tak bisa tergesa. Aku tahu, aku juga belum mampu berbuat untuk orang yang begitu banyak. Namun yang terjadi kemudian adalah malapetaka. Tak bisa dicegah dan terjadi begitu saja. Darah para perempuan mengalir menembus lapisan pasir dan membuat marah para penguasai air di negeri bawah pasir dan tanah. Mata Air Kahlirhu berhenti mengalir, tepat lima hari setelah aku tahu kalau akulah si pengendus air,? Aku memandang wajah perempuan itu.

Perempuan itu bernama Sadie, bukan Sedi seperti yang yang kudengar pertama kali saat seorang temannya memanggil. Meski tidak begitu pasti, perempuan itu senang mengartikan namanya sebagai kesedihan, meski sepanjang perjalanan kami di atas Harliba, kuda tungganganku yang berbulu kecoklatan, kesedihan tak ia tampakkan.
?Lalu apakah yang terjadi?? Perempuan itu memandang lurus ke mataku.
?Enam kepala suku bertemu. Mayat enam puluh dua orang perempuan yang membunuh dirinya secara massal dibakar di atas pasir diikuti raungan tangis perempuan-perempuan yang marah pada kepala sukunya. Air adalah nyawa, nyawa hilang dalam peperangan. Dan putus asa menghinggapi para perempuan dari lima suku di negeri Merkabah yang setiap harinya kehilangan suami dan para bayi. Susu tak lagi mengalir dari buah dada mereka. Para penjual air dari negeri para Okeanida tak lagi bisa memasok kebutuhan mereka. Perang membuat para pedagang dari negeri tak kelihatan itu enggan memasuki Merkabah. Sedangkan Kahlirhu tak bisa disentuh, karena untuk mencapainya berarti harus berhadapan dengan para petarung dari enam suku negeri Merkabah yang kesemuanya memperebutkannya.? Aku mencoba memberi sedikit keterangan.
?Tapi sungguhkah kau berasal dari Merkabah?? Perempuan itu bertanya sungguh-sungguh.
?Menurutmu, dari mana Harliba datang dan kenapa aku menculikmu tadi malam?? Perempuan itu tercenung. Ia pasti masih ingat tentang kuda kecoklatan yang turun dari hembusan angin, mengeluarkan ringkik yang tajam dan menjejakkan kakinya tepat sesaat setelah aku memejam mata sambil merapal nama Harliba.

Aku memang harus membawa perempuan itu ke negeri kami, negeri para penunggang kuda yang kuda-kudanya tengah sekarat dan para penghuninya juga hampir mengalami hal yang sama. Setetes airpun tak sudi keluar lagi dari balik pasir di negeri kami. Dan seorang peramal dari negeri Okeanida, telah dipanggil. Peri lelaki dari negeri air itu menyatakan, selama air tak menyembul dari negeri bawah, maka harapan bergelantung di negeri atas. Hanya saja dibutuhkan seorang perempuan yang bisa melahirkan hujan. Perempuan yang dalam tubuhnya terkandung kesedihan. Perempuan yang mengerti arus dan denyar tiap pusar ataupun alir air. Perempuan dari negeri manusia yang sangat halus dan peka. Perempuan yang bisa mencium hadirnya sesuatu yang jarang orangn lain bisa raba.

Perempuan-perempuan di negeri Merkabah seluruhnya adalah perempuan setengah bayangan, karena negeri tempat aku tinggal memang negeri setengah ada dan tiada. Negeri yang masih berdenyut tapi tak terrekam dalam peta dunia, pun hanya bisa ditemukan oleh mereka yang percaya legenda dan kisah-kisah tua. Tapi meski hanya setengah bayangan, kehidupan di negeri kami sangat nyata. Dan air adalah salah satu elemen nyata. Kami membutuhkannya. Kenyataan bukanlah bayangan, tetapi dibutuhkan cara membayangkan yang tajam untuk bisa melahirkan kenyataan sejelas hujan di negeri setengah bayangan, negeri para penunggang kuda yang dalam dunia manusia hanya bisa ditemui di buku-buku cerita. Negeri di tengah gurun yang akan menemui para penjelajah tersesat di malam-malam yang tidak sempurna.

* * *

Begitulah.
Sadie akan melahirkan hujan atau air dari matanya, dari rambutnya, dari kukunya, dari ketakutannya, dari kesedihannya, juga dari rasa sakitnya. Sadie akan menangis bila bulan berhenti bersinar dan aku akan menghentikan tangisnya bila para perempuan negeri Merkabah telah mengangkat tangannya. Menyatakan kalau tempat penampungan air mereka telah penuh dan anak-anak mereka telah bisa mandi di dalamnya.

Untuk Sadie, akan kucarikan lilin yang nyalanya bisa mengganti cahaya bulan. Untuk Sadie, setiap saat akan kusisiri rambutnya sehabis dia membasahinya dengan air yang keluar dari imajinasinya sendiri. Untuk Sadie, akan kubawakan salah seorang temannya dari negeri manusia bila rindu dan sepi yang dirasanya telah tak tertahan lagi. Dan yang tersulit, tentulah berkelana ke tempat para Driad, saat Sadie terluka karena kesedihan atau kelelahan yang teramat setelah ia melahirkan hujan yang sangat banyak. Hujan dari imajinasi dan rasa sedih, hujan yang ia lahirkan dan keluar dari rambutnya yang hitam panjang.

Sebenarnya bukan Sadie saja. Adalah perempuan itu, ia yang telah hidup selama seribu delapan tahun sebelum akhirnya menitis pada seseorang yang selalu bersedih. Seorang perempuan yang dalam darahnya mengalir aneka sejarah bangsa manusia; Sadie. Perempuan itu dulunya adalah leluhur Bangsa Okeanida, jiwanya melayang terapung di seluruh dimensi waktu, membawa kesedihannya karena telah menenggelamkan banyak negeri dan membuat hilang berribu peradaban. Pada darah Sadie adalah Summeria, adalah Arya, adalah Eropa, adalah Asia, adalah Afrika. Dan pada Sadie-lah roh perempuan itu memilih untuk menitis. Dan bagiku sendiri, adalah perkara tak mudah untuk dapat mengendus air dari jarak milyaran kilometer jauhnya.

Dan belakangan, selain karena perempuan yang melahirkan hujan itu juga bisa melahirkan kedamian dan menghentikan perang di negeri kami, perempuan yang berbau kesedihan itu juga dengan cara yang tak kutahu bagaimana, diam-diam telah berhasil menerbitkan rasa aneh di hatiku. Rasa aneh yang membuatku, bisa dan mampu melakukan apa saja. Sanggup dan bersedia melakukan hal sama dan berulang-ulang untuknya.

Hhm? Apakah mungkin seluruh pengorbanan itu kulakukan karena aku sadar, kami berdualah lah sumber damai di negeri setengah bayangan? Ataukah mungkin lebih dari itu? Apakah karena kami memang telah ditakdirkan untuk bertemu sebagai pasangan yang telah dipertemukan melalui riwayat hujan?

Dia perempuan yang bisa melahirkan air dan aku ksatria negeri kuda yang ditakdirkan untuk mampu mengendus air dari tubuh perempuan...***


Saturday, July 16, 2005

O R I G I N S

O r i g i n s
Cerpen Ucu Agustin


Kisah ini telah kutitipkan pada batu, telah kubisikkan pada nyala lampu. Dan aku hampir saja lupa cerita kalau kau tidak mengajakku menatap larik langit pada senja menjelang petang, sesaat setelah hujan.

Tak ada pelangi, ucapmu. Dan kubilang, Helios tugasnya telah usai. Sebentar lagi malam. Matahari di genggamannya telah ia pindahkan dari jantung langit di atas kita, dia sematkan lagi pada pojokan lain sisi langit di seberang bumi tempat kita berada. Wajar bila warna warni seusai hujan itu tak kelihatan.

Tapi kau ngotot, menurutmu pelangi adalah pemberian dari Yahweh untuk Musa. Diberikan sebagai hadiah saat Sang Nabi berhasil melalui beberapa ujian penuh kepedihan. Yahweh ingin menghibur manusia terpilihnya. Ia gantungkan warna ceria di atas langit. Bila Musa dan umatnya bersedih, mereka bisa langsung bertengadah dan tahu, bahwa akan ada suka cita selepas segala lara. Aku tersenyum mendengar dalihmu. Mirip argumen orang gereja waktu terhina atas dalil Galileo. Bumi itu bulat tidak datar. Pelangi itu muncul karena hukum alam. Hadir bila zat cair tertimpa spectrum cahaya di udara?

Tapi kau ngotot dan aku cuma tertawa.

Lantas kita berdalih tentang lebih banyak hal lagi. Dan kau pun bertanya tentang langit dan pendapatku. Tentang apakah hanya kita saja mahluk cerdas yang mendiami galaksi ini. Tentang mengapa bintang begitu banyak. Benarkah blackhole melahap setiap cahaya dari semua bintang yang berada atau melintas di dekatnya?

?Apakah Ibu punya pengalaman pribadi tentang segala sesuatu yang berbau luar angkasa?? Wajahnya menatapku penasaran. Dan aku menemukan Origins di mata itu.

Oh, Origins ...

Maka kuceritakan padanya tentang kita. Dan dia menganggakan mulutnya sepanjang aku bercerita?

* * *


Ketika malam menyemak dan yang tersisa tinggal lelah yang mengurap, aku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka: Origins. Penghuni Jupiter.

Waktu itu ia bertengger di atas pohon kelapa. Dulu, luar pagar rumahku memang rimbun dengan pepohonan besar-besar. Aneh juga bagaimana sampai bisa tumbuh pohon kelapa menjulang di antaranya.

Aku menyaksikannya dari teras beranda. Awalnya aku tak percaya. Tapi benar, dia terbang. Mendatangiku tanpa sayap. Lantas menghujaniku dengan senyumnya yang senyap.

Tidak! Tentu saja tidak!

Kepalanya tidak bundar seperti mahluk E.T yang dibuat Steven Spielbergh dalam filmnya. Tangannya tidak panjang seperti bentuk tubuh alien yang ada di Film X-File atau mahluk asing luar angkasa di film The Sign yang dikreasi oleh sutradara Hollywood berdarah India, Night Shamalan. Tidak, ia tidak memiliki bentuk tubuh alien yang biasa dipersepsikan orang kebanyakan.

Dia sepertinya juga bukan berasal dari ras alien Lyra. Dan dari jenis kulit serta besar badannya, sepertinya dia juga bukanlah sejenis alien yang berasal dari ras Vega. Tidak! Selain tubuhnya yang lebih jangkung dari aku, dia sama seperti kita. Tangannya dua. Pelipisnya satu. Mulutnya satu. Berdagu. Dan yang jelas ia memiliki hidung dan dua buah biji mata. Tapi sungguh, dia mengaku tinggal di planet Jupiter dan pernah pergi ke surga...

Aku tertawa, lantas kutawarkan teh hangat dan kuajak dia bercakap di beranda. Tapi ia memintaku menatap ke arah atap. Dan tiba-tiba kami telah begitu saja berada di sana. ?Flop!? Begitu saja kami telah duduk berdua di antara suluran genting-genting. Disiram nuansa kelam malam. Saling tertawa seolah kami telah berteman sejak lama. Tak ada bintang di angkasa.

Menyambung pembicaraan sebelumnya, penasaran, kutanyakan di mana letak surga? Suatu hari bila memang lelaki yang berada di hadapanku tidak bercanda, aku ingin menelusuri jejak rutenya. Tak harus melalui agama tapi langsung saja dari berita yang dia bawa. Aku ingin mendapat petanya. Dan tentu saja kalau kabar tentang surga telah kudapat dan arah jalannya telah kutahu, kelak akan kusiapkan segala perlengkapannya. Dalam benakku saat itu, aku membayangkan menjelma jadi tokoh jagoan. Seperti seorang lelaki yang kepalanya dilengkapi aksesori topi cowboy, menjelajah mencari harta karun, di sebuah film tentang sebuah dunia yang hilang.

Bila harta karun bisa diburu melalui petunjuk peta, mengapa bagi surga tidak berlaku hal yang sama? Aku ingin tahu bagaimana rasanya jadi penghuni surga, indahkah? Bagaimana rupa bidadari? Apakah juga tersisa bagiku bidadari lelaki yang perkasa? Lembut jenaka dan mampu membuat aku selalu tertawa? Aku ingin terpingkal, tetapi langsung tersadar. Suatu tengat di antara terlena dan jaga yang jarang aku punya.

Namun dalam luapan keingin-tahuanku yang besar, dia menyentuh tanganku. Berbisik lembut di telingaku. Katanya, di surga sama saja. Meski indah tapi semuanya terlalu mudah. Aku menghela nafas, dia rupanya tak suka kehidupan yang teramat menyenangkan. Dia salah satu penghuni galaksi yang juga butuh penderitaan.

Dalam hitungan menit aku merasa menjadi begitu dekat dengannya. Aku merasa mendapat teman. Dalam berbagai cara, entah mengapa aku selalu berpikiran sama. Kebahagiaan sepertinya bukanlah teman yang selalu menyenangkan. Aku butuh hidangan lain, sebuah menu yang lengkap dengan makanan bernama sup penderitaan.

Dan kami pun lantas menjadi demikian akrab. Aku merebahkan kepala di pundaknya dan dia menatap langit yang tak kelihatan. Dia juga bercerita tentang perasaannya. Hal yang membuatnya datang jauh-jauh dari luar galaksi.

Ada sebuah kegelisahan, akunya. Telah bersemayam lama di benaknya.

Ia bertanya tentang benarkah manusia merasa hanya umatnya saja mahluk paling cerdas di semesta? Untuk apakah sebenarnya para ilmuwan berusaha mencari bentuk kehidupan cerdas di luar bumi? Untuk berkompetisi? Dipelajari? Atau hanya sekedar ingin tahu bahwa penghuni semesta bukan manusia sendiri? Apa yang akan dilakukan bila mahluk-mahluk asing itu benar-benar ada? Bagaimana kalau pencarian mereka hanya sia-sia semata?

Aku terdiam, itu pertanyaan terjanggal yang pernah kudengar. Mengingatkanku pada sebuah berita di Koran. Dalam setahun, Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika (NASA) bisa menghabiskan dana yang bisa digunakan untuk memberi makan seluruh rakyat somalia yang kelaparan. Proyek pengembangan interferometer infra merah. Alasannya, teleskop tradisional dan teleskop angkasa Huble belum dapat membantu pencarian mahluk Extra Terrestrial. Cahaya bintang-bintang menghalangi planet-planet yang mengorbit di dekat bintang-bintang tersebut. Bagaimana kalau pencarian mereka hanya sia-sia semata?

Lelaki itu menatapku, aku berbalik menatapnya, ?Bagaimana menurutmu??

Lelaki di hadapanku tak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangan kanannya ke arah tanganku. Memegangnya lama dan tiba-tiba mengangkat tangan kami yang berjalinan kearah angkasa.

?Jentikkan tangan kirimu,? perintahnya.

Aku mengernyitkan dahiku bingung tapi tak urung kulakukan apa yang dimintanya. Saat bunyi jentik jariku usai, suatu benda yang begitu besar tiba-tiba kulihat menggantung melayang. Mengambang tak jauh dari genting-genting rumah tetanggaku yang berdempetan. Benda itu bercahaya, berbentuk segitiga. Lampu-lampu sorot berukuran besar yang sebelumnya belum pernah kulihat, seperti mendelik mengeluarkan sinar yang menyilaukan. Sama sekali tak terdengar bunyi deru mesin meski pesawat itu terlihat ?menyala?. Seseorang pasti mengoperasikannya di dalam sana.

Aku kesilauan. Tangan kiriku kunaikkan di atas pelipis. Melindungi mata. Tangan kananku masih erat dalam genggaman lelaki yang baru kukenal dalam hitungan jam.


* * *


Bisakah kau terima kenyataan itu?
Awalnya aku sendiri tak mampu. Tapi harus bilang bagaimana lagi?
Aku diperkosa Alien!
Dan kau adalah manusia hybrid, hasil persilangan hubungan itu.

Kau bukan sekedar mengangga saat rahasia itu akhirnya kubuka. Kau tak mampu berkata-kata! Mulutmu kau katupkan dan suara nafas berat terdengar menghembus lama? Berkali-kali. Berkali-kali?.

?Teruskan Bu?? Ucapmu akhirnya. Lemas. Tapi kutahu pikiranmu mulai bertanya-tanya, apakah ceritaku nyata ataukah cuma karangan belaka. Kutahu Kau setengah tak percaya.

Origins dari Jupiter, mengaku tersesat. Ia dan pesawatnya terdorong oleh distorsi medan gravitasi. Telah berusaha mengubah graviasi menjadi energi yang bisa digunakannya untuk kembali terbang pulang. Tapi ia butuh waktu untuk tinggal sementara. Sembari memperbaiki pesawatnya yang rusak, ia coba mengakrabi bumi. Akulah manusia perempuan pertama yang dilihatnya.

Kau mulai tersenyum mendengar bagian itu. Terdengar seperti kisah-kisah sains fiction di TV, ya? Dan kau terus saja tersenyum saat kubilang kalau Origins, seperti juga mahluk luar angkasa lainnya hanya menggunakan tubuh manusia sebagai stasiun saja. Tempat singgah untuk sementara. Aku tak mengenal Ayahmu, sesungguhnya?

Ya, aku hanya bertemu dengan Origins sekali saja. Dan malam setelah aku menjentikkan jari tangan, kami memasuki pesawat miliknya. Begitu luas. Begitu menyenangkan. Begitu terang. Dan kami berciuman. Terus berciuman? Aku tak sadar apalagi yang seterusnya kami lakukan. Aku hanya tahu, bahwa Mang Dimin, pembantu di rumah kakekmu, Ayahku, berteriak begitu ribut. Mengabari kalau dia telah menemukanku.

Aku hilang dua hari dua malam? Hari masih pagi saat aku ditemukan. Aku terbaring di atas genting.

Lantas aku hamil. Kakekmu menjadi begitu ribut. Setiap hari menanyaiku siapa bapak dari janinku. Dan aku hanya bisa menunjuk angkasa. Tentu saja seperti kau, ia juga tak percaya. Nenekmu berhenti bicara padaku, tapi berkali-kali kubilang kalau aku tak pernah berzinah. Maksiatkah hukumnya bila bersetubuh dengan mahluk angkasa luar? Lagi pula aku tak sadar bagaimana cara terjadinya?

Lalu berita itu kubaca. Tertulis, kebanyakan planet ekstrasolar berada terlalu dekat atau terlalu jauh dari bintang induknya. Sehingga suhunya terlalu panas atau terlalu dingin. Dan menurut anggapan para ilmuwan, kondisi itu tidak membuka peluang bagi adanya kehidupan. Itulah salah satu alasan dari dugaan mengapa selama ini para pemburu kehidupan mahluk angkasa luar belum menemukan kontak dengan kehidupan di luar sana. Namun hal itu tidak berlaku pada planet-planet yang terletak dalam habitable zone dari pusat tata surya. Sebagaimana bumi kita, planet-planet itu memiliki temperatur yang memungkinkan adanya air dalam bentuk cair. Memungkinkan adanya kehidupan. Dan dilaporkan, sedikitnya SETI** menerima enam pesan suara dari angkasa luar dalam lima belas tahun terakhir.***

Tentu saja aku senang membaca berita itu. Berharap salah satu pesan suara itu adalah dari Origins, untuk kita.

Sejak saat itu, setiap malam aku menatap langit, mencari Jupiter dan tahu kalau ayahmu bisa memandang kita dan mengawasimu dari atas sana? Melihatmu bertambah besar setiap harinya.

Dan kau memang luar biasa. Tak henti bikin aku kagum sekaligus heran. Kau memiliki indra ke-enam. Kau bisa menyembuhkan orang. Dan kau hanya senyum-senyum saja saat kebenaran aku ceritakan. Apa yang terjadi denganmu? Sungguhkah pada akhirnya kau bisa begitu tenang menerima kenyataan tentang Ayahmu? Tentang siapa sebenarnya dirimu?

Nak, Kau adalah Manusia hybrid?

?Sudahlah Bu, hari telah malam. Ayo kita masuk ke dalam rumah, sekarang.? Kau menuntunku. Aku tersenyum haru. Aku takjub melihat kedewasaanmu.

Namun di ujung koridor menuju pintu, kau tiba-tiba menghentikan langkahmu. Mengucap hal yang tak kuduga akan keluar dari mulutmu, ?Aku menghargaimu, Ibu. Bila kau ingin menyimpan sendiri rahasia tentang Ayah, aku tak keberatan. Sejak saat ini, aku tak akan pernah bertanya apa-apa lagi tentangnya?? Dan kulihat tatapan duka di matamu. Seperti tatapan duka mata Origins saat ia bercerita tentang kegelisahannya.

Ah Nak, kau tak percaya padaku?***


_______________________
Catatan:

*Origins adalah nama sebuah program Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) untuk sebuah teleskop yang dibuat dengan memakai sistem interferometer. Sistem dengan gelombang radio, infra merah dan optikal yang dikumpulkan oleh sekolompok teleskop kombinasi terpisah dan terjalin. Diproses komputer untuk mendapatkan rincian citra sumber gelombang. Karena ukurannya yang besar, teleskop ini dirakit di luar angkasa dan disebarkan ke sekitar planet Jupiter yang berjarak 733 kilometer dari matahari.

** Search for Extra Terrsetrial Inteligen. Berbasis di California.

*** Dengan bantuan superkomputer, teleskop radio bisa sekaligus merekam jutaan sinyal pada jutaan saluran penangkap gelombang yang ada. Proyek pencarian peradaban angkasa luar ini digagas SETI dengan menyebarkan teleskop untuk menangkap gelombang radio. Daerah sebaran, dari observatorium di gurun Mojave, California, hingga laut basah Puerto Rico. Sekitar dua milyar saluran siap menampung gelombangberfrekuensi antara 1.000 megahertz. Sementara komputer akan mencari 15 juta saluran tiap detik untuk mencari sinyal-sinyal inteligen.

(sumber diambil dari Majalah Info UFO dan mailing list BETA-UFO)

Anak Yang Ber-Rahasia

Anak Yang Ber-Rahasia
Cerpen Ucu Agustin
Tahukah kau apa yang dilakukan orang-orang zaman dulu saat memiliki rahasia tapi enggan membaginya dengan orang lain, sementara ia sangat butuh untuk bercerita?

Ia akan pergi ke hutan. Mencari batang pepohonan tertua dan lantas memilih salah satu di antaranya. Melubangi batang pohon itu dan membisikkan rahasia terdalamnya pada lubang di tubuh sang pohon. Dan ia akan menutup lubang di pohon tersebut dengan lumpur atau sebangsa tanah basah lainnya. Menunggu hingga tanah itu kering, menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembus nafasnya.

Rahasianya telah aman bersama sang pohon
...
[1]

Dan pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Massimo kecil saat mendengar hal tersebut dari kakeknya.

Akan dibutuhkan berapa banyak pohonkah untuk mampu menampung seluruh rahasia manusia bila mereka semuanya begitu ber-rahasia dan tak mau membaginya dengan orang lain? Apa yang akan terjadi bila suatu hari pohon itu mati, tumbang karena badai atau terpaksa ditebas karena pohonnya menghalangi jalan atau akan dijadikan papan untuk rumah, dibuat boneka kayu, dijadikan kursi atau perkakas rumah tangga lainnya? Akankah rahasia itu mati bersama sang pohon? Ataukah rahasia itu tetap menempel di pohon tersebut dan bersemayam di situ selamanya? Bersemayam dalam daging pohon itu selama ia masih memiliki wujud, tak perduli apapun bentuknya?

Pertanyaan itu tak pernah dilontarkan Massimo kepada kakeknya. Pertanyaan itu juga tak pernah dikeluarkan Massimo dari benaknya. Pertanyaan itu hanya disimpan Massino dalam kepalanya. Seperti ribuan bahkan jutaan pertanyaan lain yang terus bertambah dan menjadi iring-iringan yang semakin panjang di kepala Massimo. Pertanyaan-pertanyaan yang terus membuat barisan dan berpawai mengitari seluruh membran sel otak di kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang ia coba cari sendiri jawabannya. Pertanyaan yang kelak ketika Massimo benar-benar tahu arti jatuh cinta, membuatnya bisa menulis pesan ini untuk Juliana.

Aku pergi, Mom.
Tapi aku tetap tinggal bersamamu.
Janganlah heran, bila suatu saat kau mendengar suara seumpama bisik yang datang dari rak bukumu atau dari lantai kayu di rumah kita. Siapa tahu itu adalah suara dari rahasia seseorang yang sama sekali tak kau kenal. Dan janganlah pula kau terkejut bila suatu hari kau mendengar isak seumpama tangisku atau gumam lirih seumpama gumamku, datang dari salah satu sudut meja atau kursi di rumah kita. Bukan pendengaranmu yang salah Mom, tapi mungkin saja itu sebuah kebetulan yang sempurna.

Aku tidak pernah menceritakan ini padamu, Mom. Juga tidak cerita-cerita yang lainnya. Sejak kanak kau menyebutku anak yang ber-rahasia. Dan sebutanmu itu menempel di kepalaku. Mengoperasikan kerja perilakuku, menjadikanku benar-benar diam dan yakin kalau aku adalah seorang anak yang ditakdirkan untuk selalu menyimpan segala cerita dan rahasia, seorang diri.

Aku memang memiliki banyak rahasia. Dan aku tak membaginya dengan mahluk yang bisa bicara. Mereka tak bisa dipercaya. Aku membaginya dengan tumbuhan. Karena mereka hanya berteman angina. Angin tak memiliki kota tempat menetap. Mereka hanya memiliki tempat lahir tapi tidak tempat tinggal. Semua cerita yang dikisahkan tumbuhan hanya akan didengar sekilas oleh mereka. Dan mereka, para angin itu, akan mendengar begitu banyak cerita, tapi semua hanya sekilas semata. Aku tak keberatan, bila rahasiaku terbagi sekilas dengan angin melalui perantaraan tumbuhan dan pohonan...

Maka Mom, inilah pengakuanku.

Pada suatu hari yang tak kau tahu. Suatu hari di masa kecilku, aku telah berbagi rahasia dengan cara yang diceritakan kakek. Cara yang telah dilupakan orang. Cara-cara lama seperti yang dilakukan orang-orang jaman dahulu. Membisikkan rahasia milikku pada lubang pohon di sebuah hutan yang kemudian kayunya, mungkin saja menjadi salah satu keping di lantai kayu rumah kita atau menjadi salah satu perkakas di sana. Maka setidaknya bila suatu hari kau mendengar sebuah suara yang semirip suaraku, pilihlah alasan yang kau suka. Katakanlah kau berhalusinasi. Sebutlah kau terhantui atau bahkan merasa mendengar bisik suara hantu yang menyerupai suaraku. Tapi aku hanya berharap, masukkanlah kisah yang tadi kuceritakan sebagai salah satu sebab kenapa suaraku bisa muncul di telingamu. Anggaplah kayu itu memantulkan suara rahasia-rahasiaku?

Aku tak bisa bercerita lebih banyak lagi Mom. Kau tahu aku akan selalu menjadi anakmu yang ber-rahasia. Bukan aku tak ingin membaginya dengan mu, tapi tak bisa. Tak bisa.

Aku telah menyimpan rahasia ini sejak berumur delapan tahun. Dan sepanjang sisa usiaku setelahnya, aku selalu ingin menceritakan rahasia ini padamu. Tapi tak mungkin. Tak bisa. Maka kuputuskan untuk pergi.

Ya, aku pergi Mom.
Tapi percayalah aku tetap tinggal bersamamu.

* * *

Rumah itu kini sepi. Tak ada lagi lelaki di sana. Robert memutuskan pergi saat perkawinannya dengan Juliana telah berjalan sebelas tahun. Massimo pergi dua bulan setelah ulang tahunnya yang ke dua puluh. Hanya dua perempuan itu yang kini menghuni rumah bertingkat tersebut. Juliana dan Euis. Juliana, perempuan campuran Palembang-Denmark berusia empat puluh dua tahun. Euis, Perempuan asal Cianjur yang menemani Juliana sejak Massimo pergi dua bulan yang lalu. Usianya baru enam belas.

Apakah kau memiliki rahasia? Seperti angin yang berhenti berhembus tanpa bilang kenapa atau seperti lebah yang merahasiakan pada putik bunga tentang makna dengungnya. Apakah yang kau rahasiakan? Sesuatu yang memalukankah? Atau sebuah tindakan yang bila orang lain mengetahuinya maka kau akan menjadi orang yang berbeda dalam pandangan mereka? Kenapa Massimo pergi? Apakah yang dirahasiakannya?

Perempuan berrambut coklat itu menatap photo di hadapannya. Massimo kecil memakai sweater tebal di tengah lapangan salju. Bersama sepupunya Peter dan Larissa, mereka tengah sibuk membuat boneka salju. Di belakangnya, Robert dan Juliana tengah berpelukan sambil tertawa. Liburan menjelang natal, Melbourne, tiga belas tahun silam.

?Massimo?,? Juliana menyebut nama anaknya, lirih. Jemari tangannya mengusap wajah lelaki kecil yang berada dalam bingkai photo.

Juliana bisa mengendus itu sebenarnya. Gadis-gadis yang tak pernah dibawa Massimo. Cara Massimo menatap teman-teman lelakinya. Cara berpakaian putranya. Kecenderungannya yang halus dalam berperilaku.

Ah, kenapa Massimo harus menutupi itu semua dariku? Kenapa Massimo menduga aku tak bisa menerima keberadannya? Dunia sudah terbuka Massimo, mengapa kau berpikir dunia ibumu begitu sempit?

* * *

Simpanlah rahasia tepat di bawah kulit arimu saja. Itu kalau kamu tak cukup kuat. Cara kerja rahasia yang tak mampu kadaluarsa, lebih dahsyat dari cara kerja hulu ledak rudal dalam menghentikan dan meledakkan hatimu. Maka jangan pernah sekalipun meletakkan atau menyimpan rahasia di dalam hati. Jangan! Hatimu akan koyak dan kau akan menjalani hidup seperti seorang yang hanya memiliki setengah hati saja.

Sore itu tak akan pernah bisa dilupakan Massimo. Ibunya sedang tidak di rumah. Kakek harus Check up. Kadar gula darahnya naik drastis. Massimo sedang memberi makan ikan molly di akurium kecil dalam kamarnya saat Ayahnya tiba-tiba muncul dan menariknya dari belakang. Massimo tertawa-tawa kesenangan. Robert memanggulnya di atas kepala dan melempar-lemparkan badan Massimo kecil di udara. Massimo berteriak girang. Kedua ayah beranak itu tertawa-tawa. Tapi saat jemari Ayahnya menggelitik tubuh kecil Massimo di atas kasur, ada tatapan aneh terlihat di mata Robert. Tatapan asing yang tak pernah Massimo kenal sebelumnya. Tatapan yang membuat Massimo yang waktu itu baru berusia delapan tahun dipaksa menyimpan ratusan rahasia di balik kulit arinya dan membuatnya membiasakan diri untuk memelihara jutaan pertanyaan di kepalanya. Pertanyaan yang tak pernah ia lontarkan keluar. Rahasia yang ia coba tahan supaya tak bisa menjebol hatinya. Rahasia yang sangat ingin ia ceritakan pada Juliana, Ibunya. Rahasia yang terus mengganggu tidur malamnya. Rahasia yang tak kunjung kadaluarsa tapi juga tidak bisa membusuk dalam ingatannya. Rahasia tentang Berpuluh-puluh adegan yang di dalamnya hanya ada ia dan ayahnya saja. Di atas kasur di kamar Massimo. Di dekat kamar mandi saat Massimo akan bersegera untuk pergi ke sekolah. Di rumah kakek saat Juliana sedang sibuk mengurus Ayahnya yang sakit. Tarikan tangan Robert yang keras dan kencang. Nafas ayahnya di leher belakang Massimo. Jeritan dan tangis kecilnya saat Sang Ayah menghentak keras di tubuh bagian belakangnya.

* * *

?Selama ini kamu menyimpannya sendiri?? Lelaki itu menatap Massimo. Dari kejauhan, laut di depan mereka terus membuat gumpalan air setinggi dua-tiga meter.

?Kini tidak lagi.? Massimo menatap ombak yang jauh di depan mereka. ?Aku tak berhasil menemukan pohon tempatku menitipkan rahasia dulu. Mungkin petir membuatnya tumbang. Tapi aku menemukanmu, dan rahasia itu telah kubagi sekarang,? tangan Massimo menyentuh ujung jari lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu. Lelaki bernama Agung itu tersenyum mendengar ucapan Massimo. Tangan Massimo yang putih lentik sudah berada dalam genggamannya kini.

?Aku memang ditakdirkan menjadi pohon rahasiamu,? lelaki itu mengedipkan mata kanannya dan tertawa. Tangannya yang sebelah kiri kini menyibak rambut depan Massimo yang acak-acakan dipermainkan angin.

?Ibuku sangat mencintai Robert. Aku tak mau menyakiti Juliana.? Massimo menyandarkan kepalanya di bahu Agung. ?Ia bahkan tak tahu Robert pergi karena aku mengancamnya,?

?Oh ya?? Agung menatap Massimo tercengang. Pacarnya yang masih muda itu memang banyak memiliki rahasia. Dan satu persatu Massimo telah membuka rahasia itu padanya.

?Robert pergi meninggalkanku dan Juliana waktu aku masih berumur sepuluh. Aku mengancam akan membunuh diriku kalau ia masih begitu padaku. Dan ia takut.? Massimo menarik nafas panjang. ?Tapi Ibuku terus-terusan menangis. Dan aku tak berniat mengganggu kesedihannya yang tak berguna.?

?Ia juga pasti sedang menangis sekarang,? Lelaki di samping Massimo itu membenarkan letak jaket parasutnya yang kocar-kacir dipermainkan angin.

?Setidaknya kali ini ia menangis untuk alasan yang benar. Menangisi anaknya yang tak mau membagi kebenaran yang menyakitkan tentang suaminya. Ayahku.? Dan begitu saja Massimo berdiri saat kalimatnya usai. Menepuk-nepuk pasir dari bagian belakang celananya dan mengulurkan tangannya pada Agung.

?Kemana?? Agung mendongakkan kepalanya.

?Berjalan-jalan.? Massimo menggerakan kedua telapaknya memberi isyarat ajakan untuk cepat pergi. Agung tertawa. Pacarnya memang seorang pendiam yang memiliki semangat spontan yang luar biasa. Lelaki itu kini turut bangkit. Tapi tiba-tiba ia mengambil posisi seolah hendak duduk kembali.

?Ada apa?? Massimo menatap pasangannya, heran.

?Biasa banget sih kamu? Dompet nih ketinggalan!? Lelaki itu mengangsurkan Dompet kulit berwarna Cream milik lelaki muda di hadapannya. Dan Massimo buru-buru mengambilnya sambil tersenyum.

Agung tak tahu, seorang anak ber-rahasia akan tetap memiliki rahasia tak perduli berapa banyak rahasia yang telah diungkapkannya.

Di antara lipatan dalam dompet Massimo yang baru saja diberikannya, sebuah photo tersimpan di sana.

Massimo kecil memakai sweeter tebal di tengah lapangan salju. Bersama sepupunya Peter dan Larissa, mereka tengah sibuk membuat boneka salju. Di belakangnya, Robert dan Juliana tengah berpelukan sambil tertawa. Liburan menjelang natal, Melbourne, tiga belas tahun silam.

Bila saja Agung melihat photo tersebut, ia pasti akan sangat terkesiap. Lelaki dalam photo yang tengah berpelukan dengan Juliana begitu mirip dengannya. Ya, wajah lelaki itu amat mirip dengan parasnya. Amat sangat mirip?***


__________________________

Catatan:

[1] Ucapan Tuan Chow (Tony Leung) kepada sesama pengunjung warung mie tempat dia biasa makan. Sebuah scene dalam Film In The Mood For Love arahan sutradara Wong Kar way. Film ini berhasil memenangkan penghargaan untuk aktor dan tehnik film terbaik dalam festival film Cannes tahun 2000.

Thursday, June 09, 2005

K A N A K A R

K A N A K A R
Cerpen Ucu Agustin




Kanakar adalah bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar.

Kanakar adalah saat bening embun di pagi bulan Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib. Mulanya tidur dalam kerahasiaan tanah, lalu salah satu dari mereka tiba-tiba memutuskan untuk bangun. Menggeliat dan malu-malu menjulurkan tunas kecil indahnya ke arah matahari lantas mereka menjadi begitu bergairah untuk tumbuh, memasak khorofil dengan sibuk dan memekarkan bunga-bunga indah sebelum akhirnya menggelembungkan buah yang beraroma manis di tiap sela batang di antara daun-daunnya.

Kanakar adalah saat semua kejadian yang pertama kali dilihat Dmitri dua tahun silam akan tampak kembali sebagai mimpi nyata yang menjelma. Hutan bersinar, bintang kerdipnya lembut, malam seperti diperkosa malaikat. Heningnya sangat pekat tapi terangnya lebih pijar ketimbang ratusan lampu bohlam.

Pada dini hari pembuka di bulan pertama setiap pergantian tahun itulah, saat orang-orang di kota ramai merayakan berlalunya waktu dan menyambut datangnya satu fase putaran baru dengan kemeriahan kerlip kembang api dan keriaan sumbat-sumbat minuman yang dibuka dengan paksa, lelaki itu cukup mengenang saat yang seperti itu sebagai saat Kanakar saja.

Kanakar...

Dmitri melihat mereka dari sela-sela antara akar-akar. Tujuh puteri bersaudara... Seven sisters, begitu orang-orang berkulit putih menyebut mereka dalam bahasanya.

Bagai lulaby panjang yang menyobek malam hening di suatu kampung. Seperti kisah dalam cerita kanak-kanak tentang seseorang yang dikejar mahluk raksasa hijau dan cukup menjadikan aneka bumbu seperti garam, terasi dan merica sebagai senjata yang ketika dilemparkan ke tanah akan berubah menjadi aneka mahluk yang menyeramkan dan siap melawan si buta ijo yang mengejar. Seperti fabel-fabel yang dituturkan lewat lisan tapi kini menjelma dengan nyata di depan mata. Itulah yang terjadi pada saat itu. Waktu kanakar.



* * *


Gelap menggelayuti hutan. Pohon-pohon seperti raksasa berbulu kaki lebat yang siap membuat tersasar kapan saja di antara bulu kakinya. Angin seperti meniupkan nafas salju yang bisa menyumbat laju peredaran darah. Dmitri memeluk tubuhnya. Hanya sebuah jaket kain biasa yang melapisi baju denimnya. Ia sendirian. Dua orang temannya akan segera kembali begitu mendapatkan sigaret dan minuman hangat dari kampung terdekat. Begitu kata mereka. Padahal itu alasan pembungkusnya saja. Dmitri tahu hal itu. Alasan sebenarnya, mereka ingin menyapa kekasih-kekasihnya meski sebentar saja.

Tak ada sinyal yang bisa diterima telepon selular di dalam hutan lebat tersebut. Salah seorang dari mereka pernah bercanda, hutan ini pasti banyak perinya, bahkan sinyal saja tak diizinkan untuk menyentuh daerah kekuasannya. Dan Dmitri tertawa. Dari buku cerita anak yang pernah dibacanya, ia masih ingat salah satu keterangan yang tertera di salah satu halaman dalamnya. Begitulah biasanya cara kerja para peri hutan atau mahluk apapun yang sifatnya supranatural. Begitu seorang manusia memasuki kawasannya maka manusia tersebut tidak akan bisa melakukan komunikasi dengan sesuatu atau seseorangpun dalam jarak jangkau yang jauh. Mereka akan mengurung daerahnya dengan kekuatan, memisahkan semakin jauh manusia-manusia yang tersesat dari lingkungan yang ditinggali manusia kebanyakan. Menggiring orang tersebut untuk sampai di jantung kerajaannya dan tanpa disadari membuat orang itu putus asa dan saat putus asa, para mahluk itu akan menampakkan diri mereka. Entah sebagai gadis jelita yang muncul begitu saja dari balik semak-semak seperti dalam film-film klasik silat mandarin saat sang jagoan tersesat di daerah tak dikenal, atau seperti cerita tentang seorang anak yang bertemu kakek berjanggut pada malam di saat ia mencuri kubis dan berputar-putar terus di sebuah kebun tepi hutan tanpa menemukan jalan pulang.

Adalah sebuah kebiasaan yang belakangan seolah menjadi hal ritual. Tiga orang lelaki. Dmitri, Elias dan Firdaus. Bersahabat sejak pertama kali bertemu di kantin SMP mereka yang berdebu.

Sejak saat itu mereka tak pernah berpisah. Melakukan perjalanan merambah kaki-kaki hutan yang belum di jamah. Menyusur pinggir-pinggir pantai yang sepi dan tak biasa disinggahi para peselancar pecandu gulungan ombak. Mengenali aneka tumbuhan dan berpisah saat mereka mulai memasuki bangku kuliahan. Tapi ada satu janji: Saat waktu berada pada pertengahan antara yang lalu dan yang akan datang. Pada setiap pergantian tahun, mereka akan selalu pergi bersama untuk mengenang masa remaja dan mempersiapkan banyak rencana di tahun-tahun mendatang. Mencoret beberapa daftar rencana yang telah dibuat tahun lalu bila rencana itu berhasil. Menulis ulang yang harus dilakukan bila ada beberapa target yang belum tercapai. Tapi itu lima tahun yang lampau. Saat mereka masih mahasiswa dan tertawa-tawa membicarakan perempuan yang mereka kejar di sela merah api unggun kecil yang dibakar dari kumpulan kayu-kayuan yang ditemukan bergeletakan di tanah hutan. Dua temannya kini telah punya kekasih tetap. Dari catatan tahun depan yang sempat diintip Dmitri sebelum mereka berangkat ke Gunung Salak, Elias bahkan menuliskan pernikahan sebagai salah satu target yang akan dilakukannya di tahun depan.

Begitulah.
Jadi andai pada saat tahun baru kali itu, dua temannya lebih serius mengurusi perempuan-perempuannya daripada berembuk tentang rencana-rencana masa depannya, Dmitri bisa maklum.

Dan pada malam pergantian tahun ketika kedua temannya pergi ke kampung terdekat itulah, dia menemukan waktu yang hilang. Saat yang kemudian dikenangnya sebagai saat Kanakar.

* * *

Dua tahun yang lalu, di tengah kelebatan hutan, saat gigil mulai menggigitnya benar-benar, ketika satu persatu dahan-dahan pohon tua ia cari untuk tambahan kayu bakar. Ia melihat mereka dari antara gelantungan akar-akar yang bersuluran dari badan pepohonan. Mereka melayang, terbang. Mengambang dan berkeliaran dengan udara sebagai pijakan, mungkin itu kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan cara berjalan tujuh perempuan yang dilihatnya dari antara akar-akar. Tubuh mereka bersinar seperti kunang-kunang. Rambut mereka tergerai berwarna emas dan api. Mereka tak bersuara tapi tampak mereka tertawa-tawa. Roman muka bahagia terpancar dari wajah mereka yang seterang siang.

Dmitri membeku. Dia hanya bisa menatapi gadis-gadis cahaya itu dari jauh tanpa bisa melakukan apa-apa. Gigil dingin tak lagi dirasakannya. Ia begitu terpesona. Dari antara akar-akar ia melihat perempuan-perempuan seumpama peri itu mengambil tanah dan lantas meniupinya dengan nafasnya. Saat tanah-tanah itu ditabur kembali dari tempat mereka berdiri mengambang, tanah-tanah itu tampak seperti debu yang berpijar. Itukah debu sihir yang ditaburkan Peter Pan dan membuat teman-temannya manusia biasa jadi pada bisa terbang? Lelaki itu ingin berlari menuju hujan debu yang berpijar, tapi keadaan saat itu terasa begitu misterius dan menakjubkan. Dan saat suatu peristiwa berjalan begitu misterius dan menakjubkan, seseorang biasanya tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkannya terjadi saja. Dan Dmitri, lelaki itu, hanya bisa berdiri mematung saat ketujuh perempuan tersebut melayang kembali ke langit setelah menjumput setumpuk kecil tanah yang berpijar. Tanah yang sebelumnya mereka hembusi dengan nafas mereka sendiri.

Sejak kejadian yang dilihatnya di tengah hutan dua tahun lalu itu, lelaki tersebut mengalami imsomnia. Serangan bayangan ketujuh puteri yang mengambang itu terus menari di matanya. Membuatnya selalu kembali ke hutan itu setiap tahun baru datang, saat waktu yang lama dan yang baru hendak berpagut mengalami pertukaran yang saling bertaut.

Di kepalanya, bayangan itu terus mengambang. Bayang tubuh ketujuh perempuan berambut emas dan api yang semakin jauh membumbung ke angkasa, membuatnya tak bisa menutup mata. Ia ingat benar, saat rambut para puteri yang berkilauan seterang fajar menembus angkasa malam dan bersentuhan dengan cahaya bintang, sesuatu terjadi. Mereka tampak berubah menjadi merpati. Terbang berpencar membumbung ke langit dan saat jejaknya hilang, di atas masing-masing tempat dimana ketujuh burung dara itu lenyap, tampak dengan sangat terang tujuh bintang yang tertawan di awan-awan.

* * *

Hanya hujan yang bisa menidurkanku. Ketik lelaki itu pada keypad Handphone-nya. Ia membaca sekilas pesan yang telah dibuatnya. Jam digital di atas meja kerjanya menunjukkan angka nol dua tiga dua. Suara riuh jalanan yang tadi pecah dengan bunyi terompet dan aneka bunyi petasan kini tak lagi ia dengar. Para pemakai jalan itu pasti sedang bermimpi sekarang. Ia mengirimkan sms-nya.

Tentu saja, karena mungkin seperti yang kerap kau ceritakan, saat purnama bintang-bintang selalu memanggilimu. Pasti itu yang membuat kau tak bisa menutup matamu. Maia.

Lelaki itu baru mengenalnya satu bulan yang lalu. Kejadian tak sengaja; berebut sebuah buku yang sama di sebuah toko buku. Sebuah sore di akhir November. Entah kenapa Dmitri merasa seolah perempuan itu bisa memahaminya. Balasan sms itu adalah jawaban paling masuk akal yang pernah diterimanya sejak ia mengalami masalah sulit tidur. Sejak ia menemukan saat Kanakar.

Dmitri memang merasa selalu dikerdipi bintang-bintang. Mungkin benar, itulah kenapa ia jarang sekali menutup matanya bila datang waktu malam. Ia hapal dengan pasti letak rasi-rasi; Lira, Lepus, Taurus. Juga bintang-bintang besar Casiopea, Al Nath, Borea, dan yang paling sering membuatnya gemetar adalah Pleiades... Posisi bintang itu dan cara mereka mengerdipinya.

Adalah seorang putri cantik yang sangat suka berlayar, Pleione. Menikah dengan Atlas dan dikarunia tujuh puteri cantik yang rupawan. Dan tersebutlah seorang dewa, Orion sang pemburu. Jatuh hati kepada pleione dan ketujuh puterinya. Waktu berlalu dan sang pemburu semakin marah karena penolakan Isteri dan puteri-puteri Atlas. Dan ketika mereka tak bisa lagi menghindar, Penguasa Olympus turut campur. Zeus mengubah ketujuh bersaudari itu menjadi burung merpati dan mereka pun bisa lari dari kejaran Orion yang tak kenal henti. Pleione menjadi sebuah kluster bintang, kini dikenal dengan Pleiades. Tempat sekumpulan bintang di mana ribuan galaksi bertahta. Di Pleiades itulah ketujuh puteri Pleione bermukim. Menjadi tujuh bintang paling terang yang pernah ada di semsta. Di kluster itulah pula, terdapat sebuah sungai cahaya yang mengalir abadi tiada berujung pun tak berpangkal. Yang bila manusia beruntung bisa menatapnya, akan bisa menatap salah satu puteri tercantik dari tujuh puteri Atlas.

Dmitri selalu tersenyum bila kebetulan membaca cerita tentang asal-mula munculnya kluster itu di angkasa. Mitos! Siapa juga yang sudi percaya? Terlebih mitologi Yunani untuk pengantar tidur bocah-bocah yang perlu terus digiring para orangtua untuk terus berimajinasi, supaya daya kreatif mereka tidak mati. Tapi entah kenapa, semua itu begitu tepatnya. Ketujuh puteri di dalam hutan, meniupi tanah hingga menjadi debu pijar. Melayang ke awan-awan, berubah menjadi merpati dan saat semuanya hilang yang tinggal adalah pleaides yang maha terang?

Dmitri menarik nafas panjang. Tahun telah berganti lagi dini hari tadi. Tapi sayang, saat waktu bertautan, saat tahun baru datang dan tahun lama undur pergi bergantian, saat seharusnya ia berada lagi di tengah hutan melihat ketujuh puteri itu lagi dari antara akar-akar, ia tak bisa berada di sana. Radang usus menghambat kepergiannya. Lagi pula kali ini tak ada lagi yang bisa menemaninya untuk membuat daftar rencana di tahun depan, menjelajah hutan itu lagi dan menemui ketujuh puteri yang selalu menghilang tepat jam dua malam. Elias dan Firdaus telah menikah. Elias tengah menunggu kelahiran anak pertamanya, Firdaus sedang di Lombok menikmati bulan madunya. Dan Dmitri hanya sendiri, menahan sakit di perutnya, teronggok di kamarnya dengan hanya ditemani Maia melalui Sms-smsnya.

Jam digital menampakkan angka dua empat lima. Hipnos dewa tidur mulai melemparkan jaring kantuknya. Lelaki itu terperangkap, ia menguap, perlahan kedua pelupuk matanya mulai mengatup.

"Tapi kau telah melihat sungai itu? Dan di sanalah kau akan menikmati segarnya, bersamaku."

Sebuah suara muncul dari antara ambang tidurnya. Sangat dekat dan begitu dikenalnya.

Maia berdiri tepat di hadapannya. Di antara pijar bohlam lima watt warna hijau pekat, Maia tampak seperti salah satu dari mereka. Ini pasti mimpi. Ucap Dmitri dalam hati.

"Tapi semuanya begitu nyata, dan kita telah sangat terlambat, Dmitri. Bersegeralah!" Maia menggapai tangan lelaki itu. Dan keadaan menjadi demikian menakjubkan. Ketika sesuatu berjalan begitu menakjubkan, biasanya orang hanya bisa membiarkannya terjadi begitu saja, tanpa mempertanyakan. Pun ketika perempuan serupa salah satu dari puteri yang dilihatnya pada saat kanakar di tengah hutan itu menggapai tangannya. Mengusapkan debu pijar pada setiap garis tangan yang bertebar di telapak sebelah dalam.

"Maia," Dmitri memanggil nama perempuan itu.

"Ya aku Maia," Perempuan itu menjawab. Dan Maia?

Lelaki itu teringat cerita kanak-kanak itu. Bukankah ia memang salah seorang dari tujuh puteri yang tak henti di kejar Sang Pemburu? Electra, Taygete, Alkyone, Asterope, Merope, Celeone, Maia?.

Malam seperti diperkosa malaikat. Heningnya sangat pekat tapi terangnya lebih pijar ketimbang ratusan lampu bohlam. Bila saja ada yang tidak terlelap setelah pesta tahun baru itu usai, pasti mereka akan menganggap yang di lihatnya sebagai ilusi pada sebuah dini hari.

Dua manusia, lelaki dan perempuan. Bercahaya dan penuh keanggunan, melayang menorobos langit dini hari yang hangat dan rimbun dengan kerdip bintang yang lembut. Saat keduanya menghilang, sebuah sungai tampak terbentang di langit. Sekejap mengalir mengeriap, menabur cahaya perak yang mengkilap untuk kemudian menghilang dan lenyap. Yah, lenyap untuk muncul kembali suatu saat. Saat yang dinamai Seseorang bernama Dmitri sebagai saat Kanakar***









Thursday, May 26, 2005

I N D I G O

I N D I G O
Cerpen Ucu Agustin






Dia tertidur sekarang. Lelap dan Lembut. Serupa rumput jepang yang diselimuti angin di antara hangat malam pekarangan depan yang dipenuhi sinar lampu taman. Rambutnya yang terpotong pendek membuatnya terkesan semakin mungil. Putri kecilku...

Jangan tatap aku demikian.
Adakah itu yang melintas di kepalanya saat ini?


Aku tak memiliki kecanggihan telepati seperti itu, Papa.
Mungkinkah itu yang akan dikatakannya andai dia tahu apa yang kupikirkan saat aku menatapnya sekarang?

Apakah yang terjadi di dunia tidurmu? Bisakah aku tahu?

Dengkurnya halus, nafasnya teratur naik turun. Wajah kekanakan itu kini tampak tenang. Adakah jerit ketakutan itu kini bersembunyi di kulit wajahnya yang halus segar lembut masih alpa dari lubang pori kulit jeruk? Adakah semua hal kasat mata yang dua jam lalu dilihatnya telah benar-benar pergi dari pelupuk mata ketiga miliknya yang belum mampu dia kuasai?

Anastasia Lucy...

Anak itu tumbuh dengan cepat. Tahun berganti, berlarian seperti kenangan yang tak kunjung tertinggal namun terus melaju menyertai waktu yang dengan gigih terus saja mengingatkan akan banyak hal. Peristiwa berlalu, namun makna tetap tinggal.


Aku tak di sana saat Reana melahirkannya.

Kemeriahan merayap dari segenap penjuru London dan memuncak di kawasan Trafalgar Square, Parliement Building hingga Westminster Bridge. Orang-orang tumpah di sana. Aneka ras. Berlainan bangsa. Membentuk kerumunannya sendiri-sendiri. Sekerumunan turis Spanyol membawa gitar dan memainkan musik Flamenco. Segerombolan lelaki dan perempuan bercakap dengan bahasa Itali sambil sesekali merokok bergantian. Pemuda-pemudi Inggris berjalan ke sana kemari dengan teman atau pasangannya sambil membawa minuman anggur, wiski atau sampanye. Aku bersama tiga rekan kerja dari Indonesia dan seorang mitra bisnis perempuan dari Inggris, berada tepat di Kaki Big Ben. Mengunyah coklat diselingi bir kalengan yang sebelumnya kami beli di pertokoan sekitar Brompton Road. Udara dingin London tetap mencucuk, sebagian jalan-jalan ditutup. Polisi dengan rompi kuning bertebaran di setiap sudut. Wajah mereka ramah namun tetap tegas menghalau orang yang mendekat ke Downing Street Nomor 10, rumah dinas Perdana Menteri Ingris saat itu, John Major, yang terletak dua ratus meter dari Big Ben.

Lucy lahir tepat ketika jam raksasa di puncak menara gedung parlemen Inggris itu pertama kali berdentang menyambut tahun baru 1996, delapan tahun yang lalu. Pukul tujuh pagi waktu Jakarta, berarti pukul Nol-nol waktu London saat Winter.

Dini hari seusai pesta tahun baru, sebuah pesan tertinggal di kotak telepon apartemen sementaraku yang sempit di kawasan Knightsbridge.

"Anak kita perempuan. Matanya seperti milikmu, hitam gelap. Kulitnya lebih mirip seperti punyaku, agak pucat tapi tetap kok masih bisalah menjadi seorang Jawa. Seluruh anggota tubuhnya lengkap. Kekhawatiran kita dulu sungguh suatu hal yang tak perlu. You?re not an alien, aren?t you? Tak mungkin lah anak kita berkepala sangat besar dan aneh." Sebuah tawa menutup pesan di telpon itu. Dan tentu saja sebuah permintaan untuk sesegara mungkin menelpon rumah atau rumah sakit, terdengar dari suara perempuan yang masih berbicara dalam logat orang bule yang kental tersebut.


"Who is she? What she said" Sarah, perempuan mitra bisnisku dari Inggris menghentikan ciumannya pada leherku.

"My wife. She just have deliver our daughter." Ucapku sambil menatap kosong butiran salju putih yang turun di luar jendela. Udara di luar pasti sangat dingin. Salju dan hujan saling berganti menaburi kota london dengan kerajaan dinginnya yang membekukan. Tapi hatiku justru berbadai. Rasa bersalah yang tebal, rasa senang yang hampir membuatku berjingkrak kesetanan (andai tak sadar di sampingku sarah sedang menatap penuh rasa ingin tahu), dan tentu saja perasaan rindu yang mendera tiba-tiba serta sedih tak terkira karena tak berada di samping Reana saat dia melahirkan, bercampur menjelma adonan taifun yang kandas di perut. Menimbulkan sedikit perasaan mual dan tak enak di ulu hati.. Semacam perasaan ingin muntah namun tak jadi.

"O, Congratulations" Ucap Sarah datar.

"Terima kasih," Jawabku.

Dan aku segera pergi ke dapur. Meraih gagang telpon yang terletak dekat kulkas dan memutar nomor kode Indonesia. Lewat ujung mata, aku melihat Sarah duduk di kursi depan meja kerjaku sambil menekuri jendela yang mulai berbingkai putih diwarnai salju nakal yang menempeli kisi-kisinya. Meski dia tak mengerti apa yang kubicarakan, tentu saja aku tak akan menelpon dari pesawat terlpon yang ada di kamar. Sarah adalah perempuan yang baik dan sensitif. Akulah Bastardo nya.


* * *


Sore itu tak pernah kulupa. Dan pasti akan terus kuingat seumur hidupku. Pasti pernah pula ?kan, kalian punya sebuah hari yang seperti itu? Hari yang penuh firasat tapi tak teraba kemana alurnya akan membawa. Belum diketahui apakah yang sebenarnya akan terjadi.

"Masih saja nangis. Bagaimana tuh?" Cecil menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tahu. Padahal penerbangan lima belas menuju Singapura akan berangkat satu jam setengah lagi. Reana akan pergi ke Amerika sebenarnya, tapi ia ada urusan di Singapura terlebih dahulu.

Lucy menangis hebat di pelukan Reana. Entah kenapa belakangan ia begitu manja pada Ibunya. Dia bahkan tidak mau berangkat sekolah kecuali diantar Ibunya. Tak mau makan kecuali disuapi Ibunya. Kemana-mana tak ingin berpisah dan maunya berdua saja, padahal Reana memiliki tugas yang cukup banyak di kantornya.

"Mommy pergi cuma empat hari, honey," Istriku mengusap-usap punggung gadis kecil berusia hampir enam tahun itu. Kolokannya minta ampun. Padahal biasanya juga Lucy cuek pada Ibunya. Biasanya ia sangat mandiri dan tidak manja.

"Please jangan nangis, nanti dibelikan boneka ya," Reana memberi kode padaku untuk mulai menyalakan mesin mobil sambil menunjuk jam tangannya. Gawat, bisa ketinggalan pesawat kalau begitu terus. Pikirku. Dan dengan tega akhirnya Cecil, adikku, menarik paksa Lucy dari pelukan Reana.

Seperti anak kecil yang dirampas mainan kesayangannya, Lucy ngamuk. Entah apa yang membuat gadis kecil kami yang berambut lurus manis itu memiliki tenaga yang demikian besar. Sore hari sabtu pada minggu pertama bulan September tiga tahun yang lalu itu, Lucy memperlihatkan dirinya yang lain; Lucy si gadis pemarah. Sambil menangis ia terus meronta, menjerit dan melawan sekuat tenaga. Cecil dan Bu Jati, pembantu kami, tampak kewalahan. Namun akhirnya Reana berhasil juga terlepas dari Lucy.

Dengan terburu Istriku segera memasuki mobil. Tangis Lucy dengan jelas masih terdengar bahkan saat kaca mobil telah ditutup. Dan aku tahu, setidaknya tangis itu terus memukul-mukul dinding hati istriku.

"Matamu basah, Dear" Aku menatap Reana saat ia telah duduk di sampingku.

"Lucy aneh, aku jadi sedih. Tidak biasanya ia begitu" Ucapnya sambil dengan tangkas menjumput tissue di dashboard.

"Aku juga jadi sedih," Dan memang perasaan sedih tiba-tiba menyelam perlahan ke dalam hatiku. Menancapkan jangkarnya di sumur rasa dan dengan mudah menimba airmata dari sana hingga mengalir di pipi tanpa kusadari.

"Kamu aktingnya boleh juga!" Reana tiba-tiba tertawa untuk kemudian mengusapkan tissue bekas airmatanya pada dua belah pipiku.

"I'll be oke, kok. Simpan airmata itu untuk pernikahan Lucy kelak," Reana meremas tanganku. Aku membalasnya sambil tersenyum. Ini yang ku sukai dari Re. Tegar.

"Yuk jalan. Ntar aku telat, lagi" Ucapnya setelah mendaratkan sebuah ciuman pendek mesra di bibirku. Mobilpun melaju.

Dan pasti Reana tak akan pernah tahu, setidaknya saat itu aku berniat akan memberitahunya saat dia telah kembali pulang dari luar negeri.

Re, Lucy membuat lukisan yang sangat mengerikan!

Awalnya aku tak percaya apa yang dikatakan Cecil. Tapi saat melihatnya sendiri, aku jadi terbebalak. Dalam hitungan jam (selama aku pergi mengantar Istriku), Lucy telah menghabiskan satu buah buku tulis dan tiga buah buku gambar. Semua diisinya dengan corat coret gambar pesawat yang jatuh dan terbakar!

Jangan lagi! jangan lagi! Aku berteriak dalam hati. Apalagi kini yang akan kamu sampaikan, Lucy? Kamu ingin memberi tahu kalau pesawat Ibumu akan jatuh, begitu? Kalau pesawat Ibumu akan mengalami kecelakaan? Mengapa tak kau bilang dari tadi? Mengapa tak kau katakan saja?

Waktu Lucy berumur empat tahun, dia pernah melakukan hal itu. Sama! Dia marah karena dilarang terlalu sering bermain dan memeluk Bozo. Anjing jenis Sheltie yang dihadiahkan Ibunya Reana. Oma Inggrid, begitu Lucy memanggilnya. Anjing itu mulai nakal dan sering kabur dari rumah. Tentu saja Reana khawatir putri kecil semata wayangnya akan kena kuman atau virus. Dia pun memisahkan Lucy dari Bozo. Lucy kesal dan marah, tapi ia diam saja. Sampai keesokan harinya aku dan Reana dikejutkan oleh ketukan pintu dari tetangga yang membawa tubuh Bozo yang telah terbujur kaku. Anjing keturunan jenis Rough Collie itu ditabrak di jalan. Kepalanya pecah. Dan saat kami hendak memberitahu kematin Bozo pada Lucy, dengan suara kanaknya yang khas, Lucy menunjuk bantalnya, ?Ini Bozo,? Ucapnya. Saat aku membalik bantal yang ditunjuknya, di atas sarungnya yang berwarna biru polos, gambar seekor anjing dengan kepala pecah terpampang dengan jelas. Ia menggambarnya dengan memakai lipstik milik Ibunya. Aku dan Reana hanya bisa melongo. Tentu saja coretan gambarnya saat itu tidak sejelas dan serapi pesawat jatuh dan terbakar yang ada di hadapanku.

Reana akan bertemu beberapa arsitek di Amerika. Ia diundang untuk terlibat dalam proyek pembuatan taman kota dengan konsep modern yang memadukan gaya Asia-Amerika dengan penekanan fungsi taman sebagai paru-paru kota. Detailnya aku tak begitu mengerti, namun yang jelas kepergiannya ke negeri Paman Sam itu memang berurusan dengan Arsitektur.

Re, begitu aku biasa memanggilnya, adalah seorang arsitek muda Belanda yang ingin mengenal lebih banyak arsitektur bangunan kuno Jawa. Begitulah awalnya. Kebetulan Ihwan temanku yang menjadi kontaknya di Indonesia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Maka aku lah yang kemudian dimintai bantuan untuk menjadi translator sekaligus pemandu untuk Noni Belanda tersebut. Dan akupun jatuh cinta pada gadis muda berkulit putih dan memiliki mata seperti kelereng itu. Dia mengingatkanku pada Sarah. Mitra bisnis perusahaan kami di Inggris. Sarah telah menikah, namun diam-diam aku mengaguminya.

Usiaku lebih tua enam tahun. Tapi Re bisa mengimbangiku dalam banyak hal. Dia juga mencintaiku. Kamipun menikah dan dua setengah tahun kemudian Lucy datang ke bumi.

Dan Lucy kini telah menggambar pesawat itu Re. Aku belum tahu maksudnya apa. Semoga kamu baik-baik saja.


* * *


Namun semuanya tidak baik-baik saja. Tiga hari setelah kepergianmu, malam itu telpon terus berdering. Dari Belanda, dari Yogyakarta. Semuanya menanyakan hal yang sama. Sudah ada kabar dari Reana? Bagaimana dia?

Mengapa aku yang harus ditanya? Aku juga ingin bertanya hal yang sama. Dan alarm di hatiku terus-terusan berbunyi. Menggemakan kekhawatiran bersuara nyaring seperti yang dirasakan keluargamu dan keluargaku.

Re, kamu di mana? Please telpon kami aku sekarang juga! Meetingmu bukan di sekitar gedung World Trade Center kan?


Tapi semua itu hanya harapanku saja. Aku mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sekonyong-konyong aku melihat corat-coret pesawat terbang yang digambar Lucy tiga hari lalu bergerak dalam kotak televisi yang menayangkan serangan terhadap menara kembar. Pesawat yang patah dan jatuh terbakar. Reruntuhan bagunan yang rontok dengan dahsyat dalam sekejap. Orang-orang yang berlarian. Korban ribuan orang. Orang-orang yang menangis. Orang-orang yang marah. Tangisan dan kemarahan yang meski berbeda, tapi kurang lebih sama dengan tangisan dan kemarahan Lucy.

Lucy tahu hal mengerikan akan terjadi jauh sebelum orang lain mengetahuinya. Ia ingin menahan Ibunya. Dan ia marah karena tak berdaya dan tak mampu melakukan itu. Ia marah karena tak bisa memberitahu orang lain apa yang diketahuinya. Ia sangat ingin menyelamatkan Ibunya. Tapi siapa yang mampu menghentikan kematian?

Lucy tidak mau makan selama dua minggu. Setiap saat ia selalu menyebut nama Reana. Aku shock berat! Tapi yang paling kukhawatirkan memang adalah Lucy. Gadis kecilku itu terus-terusan diganggu hal buruk.

Sejak kematian Ibunya ia kerap melihat hal-hal ganjil yang ingin dihindarinya. Badannya bisa tiba-tiba gemetar padahal kami tengah berada di Mall. Lucy bisa tiba-tiba memegangi tanganku dan berbisik kalau sebaiknya aku tidak berurusan dengan orang tertentu. Atau tiba-tiba ia diantarkan ke rumah oleh guru sekolahnya dengan wajah yang sepenuhnya pucat. Tapi yang paling parah adalah kalau ia menjerit-jerit tengah malam. Terbangun dari tidurnya dengan keringat menguyupi dahi dan badannya. Ada yang marah karena Lucy tak mau berteman dengannya, begitu bisik Lucy di telingaku.

Lucyku.

Lucyku sayang... kematian Reana pasti sangat berat baginya.


* * *


Semua orang memiliki aura. Serupa bau yang khas pada tiap kulit. Seumpama semerbak yang berbeda pada tiap bunga. Hanya saja aura tak tercium, tak terindera juga tak nampak. Semacam bawaan yang akan terus ada dan berubah pada tiap manusia tergantung dari apa yang dilakukannya.

Indigo.

Kalimat itu berasal dari bahasa Spanyol. Artinya nila; kombinasi warna biru dengan ungu. Warna yang menempati urutan keenam dalam spektrum warna pelangi. Namun tentu saja di sini aku tak mau memberi kuliah tentang aura dan jenis warna. Hanya saja aku baru mengerti, kalau ternyata selama ini Lucy adalah seorang anak Indigo.

Pernah suatu hari aku mengambil photo Lucy dan aku terheran-heran saat melihat hasil jadinya. Ada semacam warna biru keunguan yang terpancar mengitari seluruh badannya. Dan si tukang cuci cetak memberitahu kalau itu bukan karena kesalahan teknis sewaktu memotret atau mencuci cetak. Dia memperlihatkan beberapa photo yang juga memiliki hal yang sama. Seorang anak remaja putri dan seorang bapak separuh baya.

Tentu saja sebelumnya aku telah membawa Lucy ke psikiater. Namun terlihat Lucy tidak menyukainya. Mungkin ia merasa sebal karena jelas-jelas ia bukanlah seorang pengidap penyakit jiwa. Aku tidak gila Papa, ucapnya.

Dan dengan keterangan dari si teknisi photo tersebut, aku kembali memiliki harapan. Mempertemukan Lucy dengan orang-orang yang semacamnya pasti akan banyak membantu dirinya mengetahui dan mempelajari kondisinya.

Dua tahun berlalu dan keadaan Lucy semakin membaik. Tapi Lucy mengangsurkan kertas folia putih itu padaku kemarin malam.

"Jangan pernah menyuruhnya ke sini," Begitu ucapnya sambil menatap mataku tajam. Aku terbelalak saat melihat tulisan di atas kertas tersebut. Sarah.

Apa maksud anak indogo itu kali ini? Apa lagi? Adakah anak itu bisa melihat masa lalu juga? Apakah ia tahu kalau aku berada dalam pelukan perempuan itu, tepat pada saat Reana melahirkannya? Ataukah akan terjadi sesuatu pada Sarah saat ia tiba di Jakarta lusa?

Kuraba tulisan tangan Lucy pada kertas itu, dan tiba-tiba begitu saja, sebuah penglihatan merobek mataku! Hal itu belum pernah terjadi sebelumnya! Kedua pelipisku seperti ada yang menekan.

Aku melihat hujan. Lelaki dan perempuan berlari menuju tempat berteduh. Mereka tertawa. Sebuah taksi melaju di atas jalan berlubang yang digenangi air hujan. Laki-laki dan perempuan itu menjerit saat terciprat air kotor. Seorang lelaki berbadan pendek tiba-tiba muncul di belakang mereka. Dan tiba-tiba saja sebuah benda berkilau dikeluarkan lelaki bertubuh pendek itu. Pisau!


* * *


Harusnya kamu tak perlu takut padaku, Lucy. Aku Ayahmu dan kita memiliki kepandaian yang sama. Sayangnya aku hanya mampu melihat yang terjadi padaku saja.

Aku berhasil menyelamatkan Sarah dari penodong berpisau Itu. Namun andaipun usus di perutku terburai dan kepalaku pecah seperti kepala Bozo, harusnya dua jam lalu saat aku mendekatimu, kau tak perlu menjerit demikian ngeri, Lucy.

Hilangkan saja perasaan bersalah itu. Tak ada yang bisa menjegal kematian. Bukankah sejak dulu telah kukatakan hal itu padamu? Ah, kamu pasti belum mengerti.

Andai Sarah tak datang ke Jakarta, memang belum tentu pencoleng itu akan mendekat dan pisaunya akan tertusuk di jantungku. Tapi itu bukan salah Sarah. Kematian itu memang takdirku, Lucy.

Di ruang tengah kulihat Sarah masih menangis. Perempuan berrambut pirang itu tampak sangat menyesal. Matanya yang biru tak henti mengeluarkan air. Hidung putihnya telah memerah. Tapi aku hanya khawatir padamu, Lucy.

Siapa yang akan menemanimu bila aku pergi? Atau haruskah aku tinggal di dekatmu padahal tempatku tak lagi di sini? ****

Saturday, May 21, 2005

Cerpen: Sepucuk Surat Buat Rudolf

Teruntuk Rudolf
Cerpen Ucu Agustin





Rudolf...,
Belakangan di sini setiap hari adalah pagi. Mendung selalu saja menggelayuti langit kotaku meski semai hujannya terjadi jarang-jarang. Aku di sini sekarang Rudolf, jauh darimu jauh dari tempat di mana kita pernah bersama kemarin dulu. Namun meski kadang harus terhambat sebentar untuk memikirkanmu, tapi sungguh, kau jarang sekali bisa lepas dari benakku.


Rudolf..., apa kabarmu?
Pagi ini aku kembali teringat padamu


Tadi aku naik bus kota. Kau tahu aku selalu menyukai jenis kendaraan umum yang menurutmu merunyamkan itu. Angin pagi ini cukup ramah dan aku menyengajakan diri berdiri di pinggir jalan agak berlama-lama. Ketika bus yang harusnya kutumpangi lewat, aku melewatkannya. Entah dari mana datangnya, pikiran itu kudapat begitu saja.

Mungkin, ya siapa tahu! Siapa tahu kamu lewat di depanku. Dengan Opelmu, membukakan pintu dan langsung menculikku. Kita akan pergi ke Ancol mungkin, atau kita akan nongkrong di Taman Ismail Marzuki. Atau kita akan mencari jajanan di sekitar Senayan. Atau bisa saja kau membawaku ke rumahmu lantas kau membuatkanku sarapan pagi yang telat. Atau bisa saja kita hanya berdialog di teras, seperti yang kita lakukan kemarin dulu. Bicara tentang tuhan dan bunga-bunga di bawah pohonan yang berjajar memanjang di sepanjang bungalow. Pepohonan besar dengan daun-daun lebar yang sekujur tubuhnya dipenuhi aliran semut hitam.


Dua kali bus yang harusnya aku naiki kulewatkan. Dan Rudolf... Seperti yang kuduga, kau pastinya tidak akan pernah tiba. Di pinggir jalan, di antara kepungan suara klakson di bawah lampu merah perempatan, diam-diam aku tersenyum sendirian. Sudah gila apa aku?! Mengharapkanmu turun dari antara rintik debu jalanan, di tengah udara penuh knalpot yang hitam.


Rudolf..., apakabarmu?
Masihkah kau ingat aku?


Andai saja kemarin kita punya waktu lebih lama, aku yakin kita bisa jatuh cinta. Aku tahu, awalnya kau tercecer dari perhatianku, tapi kutemukan juga dirimu. Usiamu pastinya lebih muda tujuh tahun dari Bapakku. Katamu kamu beristri, tapi tak berputra.

"Lebih senang begitu, toh anak tak membawa kami kemana-mana",€� Ucapmu pasti.

Tapi kutahu memang kau orang yang yakin. Mengucapkan segala sesuatu setelah terlebih dahulu disaring. Aku senang mendengarnya. Jarang sekali orang setua mu berpendapat demikian. Yang kutahu, biasanya orang berpasangan seusiamu bila tidak memiliki anak, mereka akan berusaha mencari "€œanak"€� lewat adopsi, hanya untuk mencari "€œsesuatu"€� untuk diurusi. Bila tidak melakukan hal itu, biasanya pasangan yang laki-laki akan mengambil perempuan lain. Tidak untuk dihamili, lantas anaknya diculik untuk dipelihara bersama dengan sang istri pertama, tapi murni yang dia butuhkan hanya seorang perempuan untuk dipiaranya sendiri. Agar sang lelaki punya "€˜hal"€™ yang bisa diurusi...

Tapi kutahu kau memang hebat.


Rudolf..., kamu adalah seorang lelaki penyendiri yang kesepian. Lelaki sunyi yang setia dan bisa diandalkan. Persis! Tipe lelaki yang mudah dicintai dan tanpa penghalang bisa dengan mudah disayang perempuan.



Rudolf..., mengapa kau masih saja di sini, padahal kau sudah pergi sejak jauh hari?
Adakah kau merasakan hal yang sama? Seolah aku masih di dekatmu padahal jarak menghambat kita?



Semoga kau masih mengenangnya juga!

Kau berdiri di depan seluruh undangan. Ketika acara formal usai dan deretan keresmian pecah, ku tahu kau hanya menatapku saja. Oh, tentu tidak Rudolf! Bukan hanya pada kesempatan itu saja....

Ku tahu apa yang sebenarnya kamu lakukan. Kau pikir karena usiaku masih muda dan kau seorang ahli jiwa lantas kau bisa dengan mudah melakukan manipulasi psikis terhadapku? Tidak Rudolf. Apapun yang kau katakan sebagai pengingkaran, aku tahu kau diam-diam sering mencuri pandang padaku. Dan kau pun tahu, aku secara pasti kadang berusaha menjauh dan mendekat padamu. Mengatur strategi agar kau semakin gemas pada tingkahku, membuatmu tak bisa menduga apa yang akan kulakukan dan lantas kau jadi kelabakan.


Ingatkah kau Rudolf?
Diantara diskusi dan lagu Tory Amoss yang bergema di ruangan itu, kita sempat berdansa sebentar. Tidak dengan gerakan, tapi lewat pandangan. Saat kepalaku yang sakit kembali kumat, kutahu kaulah yang akan pertamakali menolongku. Bukankah dengan begitu kau punya kesempatan untuk menyentuhku? Kutahu dari matamu, kau sangat ingin menempelkan bagian tubuhmu pada tubuhku.


Rudolf, bila saja kau tahu, saat itu aku juga tak perduli pada istrimu. Sejak saat itu...,
Ya! Sejak kau dengan penuh perhatian menolong meringankan nyeri di kepalaku, mencoba menggunakan kemampuan pijat refleksimu, otakku langsung berpikir yang tidak-tidak. Kau tahu apa yang aku pikirkan? Rudolf, saat itu aku berpikir tentang tiada salahnya menyelingkuhimu



Rudolf, tidakkah ide itu menarik?
Bagaimana pendapatmu?

Kutahu kau tidak akan benar-benar jatuh cinta padaku. Kamu lelaki manis yang bertanggung jawab. Kau tidak akan meninggalkan istrimu. Dan keputusan itu memang tak pernah kuharapkan akan tercetus darimu. Kutahu kau juga tahu bahwa aku tak ingin menuntut apa-apa darimu. Kau tahu aku cuma gadis kecil yang butuh perhatian, butuh sebuah bahu saat ingin menyandarkan kepala, ingin dipeluk dengan hangat saat menelungkupkan dada sambil bercerita tentang masalah yang menimpa. Kau tahu aku tak ingin melakukan hubungan kelamin denganmu. Dan kau tahu pasti, kamu tak yakin akan kemampuanmu bila hanya menyediakan diri untuk melakukan itu saja padaku; hanya menjadi tempat curahan hatiku. Seperti layaknya lelaki yang sudah menikah, sambil menggoda kau ucapkan bahwa kau ingin juga pergi tidur denganku. Aha, kita pernah sambil tertawa-tawa membahasnya, dan kau tidak kecewa saat jawabanku tetap membentur kalimat itu; "œtidak"€�.


Rudolf...,
Lantas waktu terpenggal, kebersamaan kita harus hilang. Seminar itu tidak bisa lagi diperpanjang. Saatnya tiba, Rudolf. Kau harus pergi ke spanyol, kembali menjadi pembicara, seminggu kemudian baru sampai lagi di Indonesia, lantas kembali pada istrimu. Dan aku akan pergi juga, datang lagi pada pelukan pacarku. Dua bulan rasanya tidak cukup panjang.


Rudolf, apakah kau pikir juga demikian?


Hey, mari kita berandai-andai!
Bila waktu bisa kita atur semena-mena, apa yang akan kau lakukan?


Rudolf, bila kau tanyakan hal tentang mengatur waktu itu padaku. Jawabku pasti begini: Akan ku buat waktu melebar hanya supaya kita bisa terus berjalan kaki bersama tiap pagi. Melihat cendawan-cendawan tumbuh di pohonan dan burung-burung riuh saat kita dengan sengaja melempar remah sisa bekas roti sarapan yang sengaja kita sisakan.


Tapi kita kejam!
Aku telah menduga hal itu sejak pertama kita bersua. Aku tak akan merendah untuk meminta kau memelukku lebih dulu, dan kau pun tak mungkin melakukan itu. Profesor sekharismatik kamu pastinya akan berpikir dua kali untuk meminta tubuhnya dipeluk olehku. Lantas yang ada hanyalah senyap, saat waktu mengharuskan kita berpisah, kau hanya memandangku dari kejauhan saja. Dalam diam kutahu kau mencium pipiku, membisikkan salam perpisahan padaku. Dan aku tahu kau juga mengerti arti senyumku.


Rudolf,
Bila saja aku bisa jujur, sebenarnya aku masih ingin memboroskan waktu dengamu. Tapi ku tahu, bila kau mengiyakan pinta tak terkatakan itu, aku tak akan lagi kagum padamu. Maka tindakanmu tepat! Kita berpisah, tanpa pernah saling ucap lagi. Tidak ada tolehan ke belakang, tidak ada percakapan lanjutan baik lewat e-mail ataupun melalui telpon interlokal. Semuanya bagai tak pernah kejadian. Padahal begitu dekat dan masih hangat dalam ingatan. Kita memang punya sedikit kesamaan rupanya; selalu ingin mengakhiri setiap kejadian tanpa mengucapkan salam perpisahan.


Rudolf... Tak terasa waktu kini mulai beranjak siang.
Di kotaku saat ini orang-orang kantoran pasti sedang berkeliaran cari makan. Aku sendiri belum lapar. Sudah pukul 12.35 siang. Bagaimana denganmu? Masihkah terus kau makan semua kudapan yang dibungkuskan istrimu untuk kau lahap di tempat kerja?


Ah Rudolf, kau sangat beruntung. Sebab di satu negara di mana invasi Amerika kini tengah terfokus ke sana, kudengar kelaparan mulai menjalar. Ah bukan, mungkin persisnya tidak demikian. Itu negara kaya, tak mungkin mereka tak punya uang, hanya saja katanya, makanan belakangan sulit didapat di sana. Apa gunanya uang bila sesuatu yang kita butuhkan tidak kita dapatkan?



Rudolf,
Tapi aku disini, masih di Jakarta dan kau masih di sana; kota berhujan yang namanya Bogor. Dekat, tapi kita tetap ingin berjarak.


Kau ingin tahu bagaimana keadaanku?
Aku di sini baik-baik saja. Migrainku masih sering kambuh, sinusitisku selalu tak bisa lenyap. Memang ada Dewey yang menemaniku. Seperti katamu, meski tampaknya ia tak peduli, sesungguhnya ia sayang padaku. Oh ya, semoga asmamu tidak sering muncul. Sebab punya penyakit itu tidak enak, sama tidak enaknya seperti punya anjing penjaga tapi ia galak pada kita.


Semoga tak ada waktu lagi untuk kita, Rudolf!
Sebab bila hanya sebatas ingatan dan rekayasa alam khayal, aku masih bisa bersenang-senang. Tapi apa yang akan kulakukan bila setelah minggu-minggu berlalu lantas kita bertemu di alam kenyataan? Aku sedang makan siang dan Dewey menyuapiku lantas kau sedang berbelanja bahan makanan dengan Nancy di sebelahmu? Ah, aku tak mau merusak apa yang telah kubikin sendiri di alam kenangan, apa yang telah kita tumbuhkan, meski dengan sengaja kita racuni agar segera mati.

Karenanya Rudolf,
Hanya inilah satu-satunya surat buatmu, surat yang tak akan pernah bisa kau baca dan tak mungkin bisa kau balas. Karena begitu kau mengetahui bahwa ini adalah suratku untukmu, aku sudah tidak di sini lagi. Seperti juga hatiku yang saat ini memang telah tak ku miliki sepenuhnya lagi.

Rudolf,
Selamat tinggal. Dewey mendapat beasiswa ke Jerman. Di Koln kami nanti akan tinggal.***


___________________
# PS: Ada kuburan di atas bukit. Ketika kugali, isinya kekosongan, tiada mayat yang dikuburkan. Kisah kita telah usai, tapi selalu..., aku tak henti mengagumimu (oh ya, aku melihatmu di televisi beberapa waktu lalu)#




@Desember 2002.
Bunga Lili merah itu kutanam di pot plastik, Rudolf.
Kuletakkan di belakang rumah kontrakan, dekat jemuran. Tiap daunnya mengingatkanku padamu. Selalu.

Thursday, September 02, 2004

Cerpen: KIsah Tentang Seorang Perempuan Yang Bertemu Roh Semalam

Kisah Tentang Seorang Perempuan
Yang Bertemu Roh, Semalam




Dihentikannya ketuk keras jemari pada tuts keyboard komputernya, hari menjelang malam, jam berdetik, jarum kecilnya menunjuk angka, mengunjuk suatu tanda. Perempuan itu tahu ia harus pergi, pada seorang teman barunya di ujung cakrawala maya, sebuah puisi dia tulis, berjanji bahwa besok ia akan berkirim kabar lagi.

See Ya!

malam telah merayap,
jam dinding, genting, nyala di kereta, semuanya perlahan menghitam
untuk suatu titik, kelak menyenyap.....

takutkah kau akan gelap?
Ku sarankan jangan
berdansalah dengan khayalan
temani dan mainlah dengan gulita keterasingan.

Disini pekat,
hitamnya mulai lekat.
Seperti bayang, aku harus segera bersijingkat

selamat malam,
ku tunggu selalu e-mail mu dengan penuh kerinduan... :-)

Begitu tulis sang perempuan. Ia berkemas, pinsilnya dimasukkan ke keranjang, bukunya dilemparkan ke pekarangan. Dan perempuan itu benar-benar terbang, melalui sebuah kabel ia pergi kesana; sebuah alam dimana roh berkeliaran. Sebuah undangan baru saja ia dengar: Ada suatu pertunjukkan, dimana para roh akan memutar-balikkan keadaan, mencandai tubuh manusia dengan ledekan-ledekan.

Dengan kakinya yang berbetis besar, perempuan itu melangkahkan kakinya. Agak pegal, belakangan memang ia sering sakit-sakitan. Bukan hanya tenggorokannya saja yang sering terasa gatal, kering dan kesakitan, tapi kepalanya juga sering terasa pecah, saat sakitnya sampai membuncah, ia hanya menangis sendirian. Tidak pernah lagi ia berani memanggil seseorang atau meminta temannya untuk datang. Ia telah memilih jalan itu! Lebih baik hidup menanggung kesepian daripada nyaman dan menyenangkan namun berada dalam dunia kebohongan. Perempuan itu sudah tidak bisa berpura-pura lagi, ia juga sudah tidak mampu menerima kepura-puraan. Itulah mengapa ia sekarang banyak menanggung kesakitan, suatu siksaan kesepian yang panjang, tak sembarang orang bisa menghadapinya dengan mudah, namun entah kenapa ia justru merasa nyaman.

Malam itu ia begitu gembira, bukan karena ia senang akan pertunjukkan itu, tapi ia merasa ia akan melihat dirinya lagi. Bertemu dengan dirinya yang dulu! Penuh kegilaan dan tak pernah berhenti dari tawa riang.

Dulu Ia dikenal sebagai penyendiri gila oleh kawan-kawannya. ?Aneh!? begitu mereka menjuluki segala tingkahnya. Menangis dalam pesta pernikahan, membuat puisi dan bicara sendiri saat orang berpesta di keramaian. Saat sedang sendiri, ia kerap membuat kapal-kapalan, dari kertas, kemudian membentuknya tuntas, dilabuhkan diatas sungai dan mencipratinya dengan air lalu melempari kapal buatannya dengan batuan dan kayu-kayuan.

Dulu ia selalu bahagia kalau hujan datang, ia akan menyediakan dirinya dijatuhi buliran, walaupun setelahnya ia akan demam. Perempuan itu merasa, hujan adalah sesuatu yang sendu yang turun ke dunia dengan misi tertentu. Tapi belakangan, ketika ia mulai agak besar, ia menganggap hujan adalah air seni para dewa. Saat dewa di angkasa berpesta, menjatuhkan minuman dari cawan, airnya akan jatuh ke bumi. Demikian juga bila para dewa itu muntah atau pipis atau mengeluarkan cairan apa saja, maka segalanya akan meruah tumpah ke tanah, tempat dimana manusia berusaha dan menghirup udara. Itulah mengapa ia segan kalau Ibunya menadah hujan, menjadikan air itu untuk direbus lalu dimasukkan ke kendi sebagai minuman. Pernah Ibunya bertanya mengapa ia menolak minum dari air hujan, perempuan yang dulu adalah gadis kecil itu hanya bilang, "Dari pada angkasa aku lebih memilih sesuatu yang muncul dari arah bawah, dunia antah berantah". Entah mengerti atau justru merasa aneh, Ibunya tidak pernah mempertanyakan lagi mengapa. Perempuan yang disayanginya itu hanya membiarkannya melakukan apa saja, sekali-kali, tentu Ibunya menegurnya.

Namun ketika dewasa ia bertemu mukjizat, sesuatu yang dikenalnya sebagai batu. Didapat dari sebuah tempat, jaraknya lebih jauh dari timbuktu lebih dekat dari kutub yang tak memiliki orientasi waktu. Ia ingat, sebelum bertemu dengan mukjizat dulu ia adalah seorang yang ceria. Seorang yang angkuh dan bangga, perempuan mentah yang tahunya hanya hidup yang lurus dan dunia manusia normal yang linear. Dia tak pernah berpikir bahwa mukjizat ternyata tidak hanya mampu merubah yang jahat menjadi baik, tapi kekuatannya ternyata juga mampu mengutuk sebongkah kuncup mawar menjadi seekor bangkai. Perempuan itu melayu. Kehidupannya yang dulu rekah, pelan-pelan memadam. Dirinya yang dulu lembut, perlahan menjadi kasar. Dari tubuhnya keluar aneka binatang, tidak dapat dikontrol, membuatnya tak lagi punya malu dan tak lagi memiliki kekuatan. Tapi akhirnya ia mengerti, sesuatu berhasil ia dapatkan. Tak pernah seseorang menjadi arif tanpa tahu kebejatan, tak pernah seseorang memiliki karakter yang betul-betul berbadai tanpa pernah bersentuhan dengan keramahan dan hembusan sepoi kelembutan.

Tapi malam ini adalah penyucian! Perempuan itu tahu ia akan bertemu roh malam itu. Mungkin mereka akan melayang, mungkin juga mereka akan menjauh darinya dan hilang merubah bentuk tanpa bisa dilacak, atau siapa tahu roh-roh itu akan melesap, langsung menyesap pada dirinya atau menempel pada tubuh-tubuh orang yang saling berdesak. Ya! Malam itu semuanya ingin menyaksikan pentas itu; sebuah lakon tentang arwah-arwah yang ternodai dan arwah suci.

Diatas pentas sang perempuan menyaksikan arwah itu bergerombolan, tidak memakai baju hitam melainkan putih dan warna merah! Mereka juga senang warna yang meriah! Ada biru, kuning dan abu-abu. Arwah-arwah itu sepertinya masih muda, kayaknya mereka belum kenal dosa. Seperti Harry Potter-nya J.K. Rawling dan Sophie-nya Jostein Gaarder, mereka melakukan banyak percobaan dan ketika gagal, tiada yang disesali kecuali hanya tertawa terpingkal-pingkal.

Ketika tiba waktunya memilih roh yang diinginkan, bersama orang-orang, perempuan itu ikut berdesak maju ke depan! Memilih satu roh yang menurutnya pastilah sakral!

Roh kelabu yang dipilihnya memang datang, menyocokkan diri pada tubuh sang perempuan, memandang pada wajahnya sebentar. Ketika roh itu meludah dan melesat pergi menolak menyatukan diri dan malah menjauh darinya, perempuan itu tidak bisa menangis. Ia tidak berusaha menggapai atau membujuk si roh untuk kembali pulang. Perempuan itu hanya diam, Ia sadar; Bahkan roh-pun, mendekat padanya kini enggan!

Malam berlalu, pagi menjelang. Sang perempuan menatap ufuk yang kemerahan,
?Masa lalu tak pernah kembali, tak lagi bisa digapai tak mungkin bisa dipaksakan untuk selalu digenggam? Begitu ucapnya pada angin barat yang iseng lewat. Perempuan itu Bangkit, ditepuk-tepuknya rok panjang hitam yang dikenakannya. Ia tersenyum, sebelum beranjak, ia taruh sesuatu pada kepalanya, mengemas segala kenangan hanya dalam bingkai ingatan. Ketika cahaya mulai benderang, perempuan itu mulai menyusur jalan***